Pages

Saturday, August 31, 2013

At Last

I knew this had to stop, but I had been enjoying it too much.

One day it hit me: one of us will decide to leave anyway. It is just a matter of who and when. And I do not want to be left.

So I gathered my courage. The moment I said hello, I can tell that his assistant recognised me. There must have been an instruction to keep me away, because she said that he was not available.

“Any messages?”

I hesitated for a moment, but then I pulled myself together and said, “Please send him my goodbye.”

Thursday, August 29, 2013

Yang Di Atas

“Kesulitan bisa datang dari segala penjuru. Kalau sudah begitu, kamu hanya bisa berserah pada Yang Di Atas,” begitu nasihat ayahku suatu waktu.

Maka, kapanpun aku bersusah hati karena serangan kanan-kiri, aku pergi ke atap. Dari puncak tertinggi di rumahku, yang di atas terlihat sedikit lebih dekat.

Saat langit terik di siang hari, aku senang melamun ditemani matahari, dan segelas es jeruk. Bagiku, kemewahan itu layak kudapatkan setelah mencuci dan menjemur pakaian.

Kala malam, waktunya aku menikmati bintang-bintang, yang tampak seperti taburan garam di atas karton manila hitam.

Di atap, lewat terangnya benda-benda langit, aku mereka-reka petunjuk dari Yang Di Atas.

Wednesday, August 28, 2013

Teman Begadang

Malam ini, aku harus jauh-jauh dari kopi.

Sudah cukup aku terjaga semalaman hanya gara-gara hazelnut latte yang menemani perbincangan kita kemarin sore. Seharusnya, sebagai bentuk pertanggungjawaban, aku mengajakmu mengobrol di restoran cepat saji yang tak pernah tutup, sampai pagi menjelang dan kita bisa pulang dengan tarif Transjakarta yang lebih murah dari Kopaja.

Sudah kubilang padamu, aku dan kopi tak berjodoh. Aku, khususnya, akan menjadi pihak yang tersakiti, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi.

Malam ini, karena tak ada kopi, aku betah berada di tempat tidur semalaman. Padahal, mataku tak terpejam hingga nyaris terbit matahari.

Kamu ternyata lebih mahir membuatku begadang.

Tuesday, August 27, 2013

Cita-cita (Bagian II)

Waktu kecil, cita-citaku adalah menjadi bunga matahari.

Awalnya, aku terpikat bentuk dan warnanya. Kemudian, aku mengagumi nama yang disematkan padanya. Dulu, kukira bunga matahari adalah sang surya yang menjelma menjadi flora, dan bisa membawa terang ke mana saja. Pernah kupetik satu dari kebun tetangga dan kubawa pulang, untuk menyinari kamarku di waktu malam.

Ternyata, bunganya malah layu. Dan aku dimarahi ibu.

Beliau juga bilang, aku tidak akan menjelma menjadi tetumbuhan ketika dewasa.

“Bunga matahari mengakar di tanah, sedangkan takdir anak manusia adalah menjejak dan menjelajah.”

Baru sekarang, aku bersyukur karena punya sepasang kaki, yang bisa bergerak sejauh mungkin mengikuti matahari.

Monday, August 26, 2013

Hari Pertama

Hari ini hari pertama Menur masuk kerja. Senangnya!

Menur ingin menjadi pekerja kantoran sejak masih gadis cilik. Saat itu, ia menyaksikan ibunya meninggalkan rumah di pagi hari dengan wajah berpulas riasan cantik. Ibu tampak sangat memesona, seolah mampu menaklukkan dunia saat mengenakan sepatu hak tinggi dan memakai lipstik.

Sejak semalam, Menur sibuk bersiap. Ia bolak-balik mencoba kombinasi blus yang satu dengan rok yang lain, mencocokkan sepatu dan aksesoris, sebelum menentukan dengan mantap. Tapi, saking gugupnya, malam itu dia sulit tidur lelap.

Di kantor, Menur menemukan lobby yang sepi, hanya ada satpam berpatroli.

Katanya, “Mbak, ngapain ke kantor hari Minggu begini?”

Friday, August 23, 2013

Lovesick

Let us see each other again and talk over coffee, when I shall be, instead, sipping tea.

“Please don’t forget to bring your mobile phone again, or I might have to use the public announcement,” you laughed,  “It’ll be as if I am looking for a lost child!”

“Don’t worry,” I replied, “I know that it’s best to wait in front of the usual coffee shop at the corner of the street.”

I fervently believe that we will find one another like we always do. But it is sickening, really, that I cannot seem to justify my longing for you.

Thursday, August 22, 2013

Sembunyi dalam Gelap

Langit sudah berwarna pekat saat aku tiba. Kulihat ia duduk sendirian di meja di pojok dekat jendela, sudut favorit kami sejak dulu. Saat kami akhirnya saling menatap, kudapati wajahnya begitu letih, namun senyumnya terkembang cerah.

“Maaf sekali, aku terlambat sampai berjam-jam begini,” ucapku memelas. “Pekerjaan kadang tidak hanya menyita waktu, tapi juga hidupku.”

“Nggak apa-apa,” jawabnya hangat. “Aku sudah senang karena akhirnya bisa ketemu lagi.”

“Ini sudah larut. Istrimu nanti tidak khawatir?” Ia menggeleng. “Kami pisah ranjang sejak tiga bulan lalu. Anakmu bagaimana?”

“Dia sudah tidur. Pengasuhnya barusan meneleponku.”

Kami sudah aman sekarang. Malam ini, kami bisa menjadi sejoli kembali.

Tuesday, August 20, 2013

Makan Hati

“Kawin sama bule itu, bagian namain anak doang yang seru. Sisanya sama aja, laki-laki manapun bisa jadi pelit, menyebalkan, atau punya selingkuhan. Lo punya kesempatan yang sama buat makan hati sampai kenyang.”

Berkaca pada pengalaman Diana, seharusnya, aku percaya apa yang dikatakannya. Namun saat itu aku sedang mabuk kepayang, dan kupikir Bill adalah pria yang sempurna. Ternyata, ia sama seperti tagihan di akhir makan malam di restoran: untuk setiap kenikmatan yang kucicipi, ada harga yang harus kubayar.

Aku memang agak tak rela menghabiskan dana yang tak sebanding dengan kelezatan sajian, tapi apa mau dikata?

Pelajaran hidup memang kadang harganya mahal.

Monday, August 19, 2013

Pentingnya Sebuah Nama

Biar kuberitahu kau sebuah rahasia: Aku bisa jatuh hati pada seseorang hanya karena namanya.

Baru-baru ini, aku berkenalan dengan seseorang bernama Aldebaran. Begitu tahu makna di balik namanya, aku jadi berdebar-debar. Ia pun jadi tampak sepuluh kali lipat lebih menarik, padahal dia pacar orang.

Aku biasanya juga akan kagum pada orangtuanya, yang memilih kata-kata yang tak biasa untuk merangkai doa-doa baik dan disematkan seumur hidup dalam sebuah nama. Lagipula, andai harapan itu terkabul, pastilah anak mereka menjadi orang baik. Siapa tahu, dengan begitu, ada yang bisa dijadikan teman hidup yang baik pula.

Tapi, untuk soal itu, aku punya cerita tersendiri.

Sunday, August 18, 2013

Keputusan

Tiba-tiba semuanya gelap. Sekeping kenangannya mencuat ke permukaan, terulang tanpa permisi.

“Kamu berharap aku menyerah, ya?”

“Iya.”

“Aku juga. Toh, salah satu dari kita harus menyerah pada akhirnya.”

Ia teringat senyum itu, yang menghangatkan seluruh penjuru hatinya sampai nyaris luluh. Ia harus segera menghentikannya.

“Aku bukan alasan bagus untuk diperjuangkan, tidak seperti kemerdekaan...”

“Bukan kemerdekaan, tapi kebahagiaan.”

“Kalau kamu sendiri tidak bisa membuat dirimu bahagia, tidak akan ada yang bisa. Lagipula, kita terlalu berbeda…”

“…tapi aku cinta. Lantas harus bagaimana?”

Matahari menyusup dari jendela, mengakhiri tidurnya. Ditatapnya sosok yang terpejam pulas di sampingnya. Ia tak menyangka akan sebahagia pagi ini.

Saturday, August 17, 2013

Selepas Terang

Aku masih teringat saat ia mengulurkan tangannya dan menyebutkan namanya: Padang. 

Menjawab ekspresi heranku, ia tersenyum, menjelaskan, “Dari Bahasa Jawa, artinya ‘terang’.”

Tak butuh waktu lama bagi Padang untuk lantas menjadi secercah cahaya yang terbit di hatiku, mengisi dan menghangatkan setiap sudut ruangnya. Tapi, kemudian ia ternyata menjadi terang yang menyilaukan. 

Aku sempat berpaling sejenak untuk menjernihkan pandangan, tapi aku malah tak bisa menemukan penerangku kembali. Habis terang terbitlah gelap, dan aku pun kehilangan arah lagi.

Namun aku percaya, perih di jari-jariku yang habis terkena api ini akan menjadi kenang-kenangan, bahwa aku pernah berupaya menyalakan lilin demi menerangi jalanku sendiri.

Friday, August 16, 2013

Cita-cita

Oh, rupanya begini kalau hidup jauh dari rumah.

Rasanya dingin, walaupun cuaca panas. Sepi, walau di keramaian yang penuh sesak. Lihat kanan-kiri, yang ada wajah-wajah tak dikenal. Saat rindu, bisa bertatap muka atau berbincang seru, namun tak mungkin bertukar peluk. Mau pulang, ongkosnya mahal.

Dulu, tinggal di rumah begitu membosankan. Pergi belajar, pulang dan mengerjakan pekerjaan rumah, sesekali membantu ibu bersih-bersih agar tidak kena marah. Tak sabar rasanya bisa hijrah ke kota besar, demi menghidupi diri sendiri, agar bisa hidup dengan bergaya tanpa dikomentari, “Memangnya orangtuamu ini mesin ATM?”

Sekarang aku sudah hidup seperti impianku, tapi aku malah rindu rumah.

Thursday, August 15, 2013

Terlambat

“Andai saja kamu mau kembali…” celetukmu, mungkin karena lelah berbasa-basi setelah kita tak sengaja bersua kembali sore itu.

“Memangnya Tania ke mana?”

“Pergi.”

“Kenapa?”

“Tanya aja anak-anak,” jawabmu, merujuk pada sesama kerabat kerja kita dahulu. “Sayang sekali, kamu udah telanjur sama yang lain, ya?”

Aku tersenyum kecut.

Salahmu sendiri, melepaskanku begitu saja. Padahal, sudah kubilang aku akan bertahan selama kau menginginkannya. Tapi, kau juga tak kuasa menolak Tania. Predikat lulusan luar negeri dengan reputasi mengesankan tak bercela menjadikannya kandidat sempurna, sekaligus alasan untuk menyingkirkanku seketika.

Sekarang, kau malah harus berjuang sendirian.

Aku titip salam ya, untuk atasanmu yang banyak maunya.

Wednesday, August 14, 2013

The Stain

“Sorry for the tell-tale sign,” he whispered. “I did not mean to make you bleed.”

She nodded slowly. He wondered why she’s been quiet after screaming his name in ecstasy just minutes before.

“We should not have done it,” she broke her silence. “I have a curfew, and I’m wearing white!”

She stormed off, ignoring his plea. Thank God she managed to be home right before midnight.

The living room was dark when she arrived. She turned on the light and found everybody shouted, “Surprise!”

“Happy sweet seventeen, darling!” Her mother embraced her. “You now have my permission to date!”

Sunday, August 11, 2013

Keinginan Ibu

Belasan tahun yang lalu, aku berharap bisa cepat-cepat dewasa. Belasan tahun kemudian, aku ingin berhenti menua.

Sejak menginjak usia perak, aku mengawali hari dengan agak berbeda.

Sambil terkantuk-kantuk, aku akan menyeret langkah ke depan kaca. Memeriksa rupaku setiap pagi menjadi penting adanya. Aku siap mengangkat gendering perang, jika ada garis halus yang berani muncul sebelum waktunya.

Masa bodoh dengan mereka yang bilang bahwa kerutan adalah guratan kenangan dan pengalaman, aku lebih suka membuat wajahku amnesia.

Halaman terakhir buku harian itu sudah berulang kali kubaca. Aku masih tak mengerti mengapa ibu memilih bertaruh nyawa, menjemput janji surga demi tampak awet muda.

Thursday, August 08, 2013

Bukan Sembarang Ayunan

Suasana hati sepertinya punya taman bermainnya sendiri. Dari semua permainan yang ada, ayunan adalah kesukaannya.

Ia dapat merasakan desir sensasi serupa main perosotan tanpa perlu bergeser dari kursi, apalagi memanjat tangga demi sampai ke puncak untuk kemudian meluncur kembali ke tanah. Ia juga tak perlu orang lain demi menjaga keseimbangan atau dapat bergerak naik-turun seperti saat berada di atas jungkat-jungkit.

Ia bisa mengendalikan ayunannya dengan kakinya sendiri, mulai dari soal ritme hingga kapan ingin berhenti. Tak heran, ia akan selalu kembali pada permainan yang satu ini.

Sialnya, kalau suasana hati sedang senang-senangnya main ayunan, perasaanku jadinya terombang-ambing bukan kepalang.

Wednesday, August 07, 2013

Padang Kenangan

Jika ada satu hal yang Binar rindukan dari masa kecilnya, itu adalah bukit di belakang rumahnya.

Di sana ada padang rumput yang membentang, bagai karpet hijau yang ditenun alam. Dulu, ia berharap bisa menemukan puing-puing piring terbang seperti Nobita dan Doraemon, atau menyanyi di puncak seperti Julie Andrews dalam The Sounds of Music. Seandainya dia mampu menaklukkan ketakutannya akan kegelapan, ia ingin bisa berbaring di atas rumput, menikmati kemilau langit malam.

Jika ada satu hal yang Binar benci dari masa lalunya, itu adalah ayahnya yang mengubah bukit di belakang rumahnya menjadi lapangan golf, demi pembangunan yang mencuri kesenangan jiwa kanak-kanaknya.

Tuesday, August 06, 2013

Dari Jendela

“Anda pasti suka rumah ini. Jendelanya banyak dan besar, sinar matahari leluasa masuk setiap hari.”

Perempuan itu menatap kekasihnya. Meski bertukar senyum, mereka tidak berbagi antusiasme yang sama. “Saya ambil ini!”

“Permisi sebentar,” kata kekasihnya, menggandeng perempuan itu ke sudut ruangan. “Kamu yakin?”

“Positif,” jawabnya. “Kenapa?”

“Aku merasa ada yang aneh,” lelaki itu menunjukkan lengannya. Bulu kuduknya berdiri tegak.

“Kamu hanya kedinginan.” Ia mengecup hangat kekasihnya, mengabaikan kata-katanya untuk tidak melanjutkan transaksi.

Bulan-bulan pertama, perempuan itu gemar berlama-lama duduk di depan jendela, memandang ke arah taman belakang dari lantai dua.

Ia berhenti melakukannya sejak sosok perempuan berambut panjang balas menatapnya.

Monday, August 05, 2013

Cerita Misteri

“Kamu suka Sherlock Holmes, ya?”

Kurasa jantungku berhenti berdetak. Bagaimana bisa pujaanku tiba-tiba menyapa, tepat saat aku sedang memikirkannya?

“Kok tahu?”

“Tuh, bukunya lagi kamu pegang…”

Selama ini, aku hanya mengaguminya dari kejauhan. Sebagai rekanku di tempat kerja, kami lebih banyak bertukar sapa basa-basi. Sekarang, aku malah berbincang seru dengannya, tentang kegemaran kami akan cerita misteri, di kedai kopi favoritku. Kami sedang membicarakan nikmatnya aroma kertas buku baru, saat sesosok rupawan datang menghampiri kami.

“Maaf ya, tadi ada sale novel Agatha Christie di bawah…”

Mereka bertukar kecupan, sebelum pamit minta diri.

Diam-diam, aku iri melihat mereka begitu cantik dan serasi.

Sunday, August 04, 2013

Baju Lebaran Putri

“Bu, Lebaran sebentar lagi. Aku ingin baju baru,”

“Sabar ya, sekarang uangnya belum ada. Lebih baik Putri bantu ibu mencuci saja.”

Ada untungnya juga para asisten rumah tangga sudah mudik. Para penghuni perumahan elit di seberang gang jadi memasrahkan pakaian kotor mereka padaku. Bayarannya lumayan, meski tak cukup untuk belanja pakaian.

“Bu, lihat!”

Tiba-tiba, Putri kecilku sudah berpakaian bagai putri sungguhan. Dalam balutan gaun mewah warna merah muda, ia tampak sungguh menawan, meskipun ada noda berceceran di dada. Pasti bekas makanan mahal. Sekejap aku malu akan ketidakmampuanku.

“Copot baju itu, sayang,” pintaku seketika. “Jangan mengakui sesuatu yang sebenarnya bukan milikmu.”

Saturday, August 03, 2013

Tak Berbayar

Pagi ini, kutemukan keramaian yang tidak biasa.

Dalam kerumunan penuh papan unjuk rasa, kuhampiri seorang lelaki muda. Sepertinya sebaya, jika tidak satu-dua tahun lebih tua. Pernyataan dalam genggamannya membuat nalarku bertanya-tanya.

’Free hugs’ ini maksudnya apa?”

“Terkadang, seseorang hanya perlu mendapat pelukan tanpa pamrih, tak jadi soal siapa yang memberi,” dengan penuh semangat ia menjelaskan maksudnya. Ia kemudian membicarakan tentang reaksi kimia tubuh saat menerima pelukan, dan bagaimana hal ini berkembang menjadi kampanye yang mendunia.

Aku seolah diingatkan untuk tidak patah hati berlama-lama. Ketika kami bertukar peluk, perasaan hangat pun menjalar seketika.

Ah, hal-hal terbaik di dunia memang tersedia cuma-cuma.

Friday, August 02, 2013

Bukan Sepasang Sayap

Kalau sudah jengah begini, ingin rasanya punya sepasang sayap dan terbang jauh, meninggalkan ibukota yang memenjarakan dengan sederet kewajiban atas nama tanggung jawab orang dewasa.

Tapi, kalaupun sayap dijual, kurasa aku takkan sanggup membeli. Sementara itu, mereka yang mampu akan mengenakannya dengan berbangga hati, karena mereka jadi bagaikan bidadari.

Ah, tapi Tuhan memang selalu penuh kejutan. Tiba-tiba kau datang, mengetuk pintu sangkarku yang sempit dan tak berjendela, lengkap dengan buah tangan berlogo rumah makan ternama.

Guratan senyum di wajahmu seolah mengingatkanku, bahwa masih ada banyak hal di dunia yang bisa membuat hati bahagia.

Sepiring sayap untuk makan malam berdua, misalnya.

Thursday, August 01, 2013

Terlalu Sibuk

Kau sedang terlarut dalam fase bulan madu. Seolah-olah dunia hanya milik berdua: kau, dan pekerjaanmu.

Sejak awal pekan, pagi hingga petang, perhatianmu terpaku pada layar monitor, membuat tatapanmu tak lagi jauh ke depan seperti dulu. Kau tak bergerak dari kursimu, tapi sebenarnya kau sedang main kejar-kejaran dengan tenggat waktu.

Mungkin ada saatnya kau beranjak, tapi seringkali alasannya adalah janji temu. Kau harus memburu artis ini, atau pejabat itu. Ini urusan serius, begitu katamu, karena aku harus memastikan bahwa semua orang dikutip dengan benar, dan khalayak mendapatkan hanya hal yang benar, selalu.

Tapi, sudah waktunya kau bereskan kamarmu.

Salam rindu,

Ibu.