Pages

Friday, November 29, 2013

Tentang Ramal-Meramal (Bagian II)

Menyambung post tentang ramal-meramal bagian pertama, sekarang gue mau membahas hasil pembacaan salah satu narasumber yang gue wawancara. Sang pembaca karakter lewat horoskop ini namanya Sundea, tapi biar lebih ikrib, jadilah gue manggilnya Dea.

Setelah ngobrol dengan Dea buat keperluan tugas negara, gue memutuskan memesan salah satu jenis layanan yang ditawarkan Dea di Zodiak Gembira, yaitu Zombiku alias Zodiak Gembiraku. Untuk lebih jelasnya seputar Zodiak Gembira, mampirlah kemari.

Singkat cerita, dua minggu kemudian, hasil pembacaan pun mendarat dengan manis di kotak masuk surel gue. Seperti gue sempat bilang di post pertama, menikmati hasil pembacaan karakter rasanya kaya baca buku panduan tentang diri sendiri, juga penjelasannya dari segi astrologi.

Misalnya, soal kegemaran gue menikmati saat-saat sendirian sambil memerhatikan sekeliling, karena dari sana, ada saja hal-hal yang kemudian bisa gue tulis. Rupanya, itu karena posisi matahari sekaligus Merkurius gue ada di rumah kesembilan, house of philosophy, higher learning, and personal growth. Gue jadi punya kebutuhan tinggi buat memelajari dan memahami dunia sekitar, di manapun gue berada, dan membagikan kembali pemahaman itu ke orang lain.

Di sisi lain, planet Merkurius menjadi simbol komunikasi dalam primbon astrologi. Dengan posisi Merkurius ada di bawah rasi bintang Aquarius, gue menjadi orang yang bisa menikmati argumentasi tanpa terintimidasi oleh perbedaan pendapat, alias senang berdebat. Lah, ternyata hal ini juga dipengaruhi horoskop?

Dea juga 'membaca' dengan tepat kalau hal yang paling gue suka dari sebuah perjalanan adalah memelajari budaya lain. Rupanya, berdasarkan penelusuran, dilihat dari posisi planet Mars –simbol ambisi– yang dalam kasus gue adanya di Sagitarius, ambisi gue berkaitan dengan kebebasan dan perjalanan.  

Sementara itu, dengan posisi rumah pertama, house of personality, di Taurus, gue cenderung setia dengan pola dan kebiasaan. Salah satu hal menarik dari aspek ini adalah bahwa gue ternyata tipikal yang susah pindah ke lain hati untuk urusan karier, khususnya tempat kerja. Hihihi :D

Setelah kepribadian, mari beralih ke emosi, yang direpresentasikan dalam chart oleh bulan (lunar). Bulan gue ada di Virgo, rasi bintang dengan unsur tanah seperti halnya Taurus. Kondisi ini memertegas karakteristik Taurus dalam kepribadian gue. Selain itu, sebagai seorang Lunar Virgo, gue nggak suka jadi pusat perhatian. Karena lebih senang mengamati, gue akan merasa aneh sendiri kalau gue justru jadi pihak yang diamati.

Secara keseluruhan, hasil pembacaan karakter gue versi Dea ini seru! Meski pemahaman gue relatif minim untuk urusan posisi benda-benda langit dan pengaruhnya terhadap hidup seseorang, gue nggak dibuat pusing dengan hal-hal teknis seputar primbon astrologi. Gaya penuturan Dea mengalir ringan, bikin gue nggak kebingungan untuk menghubungkan hasil pembacaan horoskop dengan karakter asli gue. Rasanya seolah lagi ngobrol dengan teman yang sudah dikenal cukup lama.

Oh ya, karena jenis layanan yang gue pesan adalah Parit alias paket irit, gue masih penasaran dengan hasil pembacaan Dea kalau dituangkan secara visual. Ini berarti, pe-er gue selanjutnya adalah memesan ilustrasi personal karya 'jin'-nya Zodiak Gembira. Hmm... dijadiin kado ulang tahun buat diri sendiri kayanya lucu juga! :)

Resensi: Rhapsody (Mahir Pradana, 2013)

Awalnya, gara-gara judulnya, awalnya saya mengira Rhapsody akan kental dengan penceritaan tentang musik (Bohemian Rhapsody, anyone?). Ternyata, setelah mengintip kamus, kata ini juga berarti "an ecstatic expression of feeling or enthusiasm." 

Ditambah dengan kalimat "Selalu ada alasan untuk pulang" di sampulnya, saya langsung terpikir satu kata: homesick. Saat seseorang merindukan rumahnya, alasan apapun yang memberi mereka kesempatan untuk pulang bisa membuat mereka senang bukan kepalang.

Dalam Rhapsody, di titik inilah cerita berawal. 

Terinspirasi dari pengalamannya saat melancong di Eropa, Abdul Latif Said alias Al memutuskan untuk 'menyulap' hotel peninggalan orangtuanya di Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi sebuah youth hostel. Dibantu Bambang alias Bebi, yang sebelumnya bekerja di salon kakak perempuannya, Al mengelola hostelnya, Makassar Paradise, yang berada di pesisir Pantai Losari. Uniknya, ternyata nama hostel Al ini punya inisial yang sama dengan sang penulis, Mahir Pradana. Quite a catchy detail!

Sementara itu, meski sempat goyah karena usahanya seolah berjalan di tempat. Al berupaya bertahan, berpegangan pada kekuatan cita-citanya.

Aku meyakini bahwa jika aku berhasil merealisasikan dan membangun mimpiku, kebahagiaan akan datang dengan sendirinya untuk mewarnai hidupku (halaman 11).

Meminjam istilah penulis favorit Al, Paulo Coelho, semesta pun berkonspirasi untuk mewujudkan impiannya menjadi pemilik sebuah hostel. Datanglah Miguel Luis Carrion Martinez, jauh-jauh dari Madrid, Spanyol, dengan alasan yang terlalu bagus untuk jadi nyata, tapi sungguhan adanya.

"Takdir membawaku ke sini. Terus terang, aku pun tidak mengerti. Tapi, bermodalkan keyakinan dalam hati, aku memilih jalanku. Dan, semuanya harus dimulai dengan membalas budi kepadamu. That's why I'm here." (halaman 64)

Sejak munculnya Miguel, kejutan demi kejutan hadir dalam hidup Al. Tak hanya bisnisnya yang maju pesat, kisah asmaranya pun kembali semarak. Al kembali berjumpa dengan mantan kekasihnya di masa SMP, Sari, yang datang ke Makassar untuk berlibur. Padahal, di saat yang sama, ia masih berusaha memulihkan luka hatinya akibat dikhianati mantan pacarnya yang terakhir, Nadia, saat masih berada di Eropa.

Ada orang bijak zaman dulu yang bilang, history teaches everything including the future (halaman 76).

Sementara itu, kejutan-kejutan yang telah datang tak selamanya menyenangkan. Al pun harus berjuang untuk memertahankan hal-hal yang membawa rhapsody dalam hidupnya, yaitu impian dan cinta sejati.

Terlepas dari kisah Al sebagai tokoh utama, saya justru lebih terpikat pada karakter Miguel. Pengembaraannya ke negeri asing, yang digerakkan oleh tujuan membalas budi, justru menjadi awal hidup baru yang menantang, namun kemudian membawa kebahagiaan tak terduga. Jika saja Al tak pernah pergi ke Eropa, cerita hidup Miguel akan lebih menarik untuk diangkat dalam novel. Di beberapa bagian cerita, penggambaran kisah Miguel seolah mencuri spotlight, membuat sang tokoh utama cemburu. 

Di lain pihak, kisah cinta memang tak harus melulu penuh drama. Dalam Rhapsody, sosok pembawa tawa itu hadir lewat tokoh Bebi. Tak hanya membantu Al mengurus hostelnya, Bebi tampil sebagai sidekick yang setia, sekaligus comic relief dalam cerita lewat logat okkots-nya. Tak muncul hanya sebagai tokoh tempelan, sisi lain Bebi pun terkuak saat ia mengungkapkan isi hatinya pada Al.

"...Di hostel ini, orang-orang tidak pernah menertawakan saya. Sebaliknya, di tempat ini, orang-orang tertawa bersama saya." (halaman 147 – my favourite 'human moment'!)

Salah satu kekuatan Rhapsody, menurut saya, adalah latar ceritanya. Berbekal pengalaman mengunjungi sejumlah kota di benua Eropa dan tumbuh besar di Makassar, Mahir menggambarkan pesona kota-kota itu sambil mengajak pembaca menyusuri masa lalu Al. Selain itu, lewat tokoh Sari, yang kemudian diceritakan memenangkan kontes kecantikan dan bepergian keliling dunia, pesan-pesan seputar pentingnya traveling turut diperkuat. Aspek ini memang bukan sesuatu yang baru dalam karya-karya penulis Indonesia. Tapi, sebagai seseorang yang suka diajak jalan-jalan, termasuk lewat cerita orang lain, saya cukup menikmati kesempatan untuk 'melancong' bersama tokoh utama.

Dengan adanya kilas balik perjalanan Al di Eropa, juga acara tur keliling tempat-tempat bersejarah yang menjadi program andalan hostel Makassar Paradise, Rhapsody tidak semata menawarkan kisah dua sejoli yang dimabuk asmara. Ada berbagai bumbu yang ikut memerkaya kisahnya, mulai dari kekuatan impian hingga keindahan negeri sendiri, menjadikan Rhapsody sebuah kisah tentang cita dan cinta yang menghangatkan hati.


P.S: Kalau novel pertama Mahir, Here, After, membuat saya teringat kata-kata Jenderal Tian Feng di serial Kera Sakti, "Sejak dahulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir", Rhapsody meninggalkan sebuah pesan tentang pentingnya tempat pulang: Home is where the heart is. 

Thursday, November 28, 2013

Tentang Ramal-Meramal (Bagian I)

Penafian: Kalau nggak percaya ramalan, bacanya sampai sini aja, ya. :p

Suatu hari, gue dihadapkan dengan pertanyaan yang agak mengusik.

"Kenapa sih, cewek percaya banget sama yang namanya ramalan?"

Spontan, gue bilang, karena penasaran. Manusia boleh bercita-cita, tapi mereka nggak mungkin tahu pasti mereka nantinya jadi apa. Malah, gue menduga kalau lagu Que Sera Sera itu ditulis sama seseorang yang sudah terlalu bingung, akan jadi apa dirinya kelak. Mungkin, kalau diciptakan di zaman sekarang, judul lagunya bakal jadi "Yaudahlah Ya."

Kembali ke rasa ingin tahu. Pada umumnya, hal inilah yang mendorong seseorang, bukan hanya kaum perempuan, untuk berupaya mencari jawaban. Upaya ini rupa-rupa macamnya; mulai dari mengacungkan tangan waktu guru menerangkan pelajaran, memanfaatkan situs pencari, sampai diam-diam memantau akun media sosial pihak yang jadi incaran. Ramalan, bagi sebagian kalangan, dipandang sebagai salah satu sumber jawaban.

Buat gue pribadi, ramal-meramal adalah sekadar senang-senang. Biarpun menyadur rubrik ramalan bintang pernah jadi bagian dari pekerjaan gue, dan gue nggak jarang mengisinya dengan karangan bebas semata, horoskop adalah salah satu rubrik favorit gue sejak SMP. Selain itu, gue suka buka situs fortune cookie generator, pernah coba meramal peruntungan lewat nama di sini dan dibilang kalau gue cocoknya jadi detektif, juga iseng ngetes kecocokan horoskop gue dan pasangan. Benar atau tidaknya, lihat saja nanti. 

Di lain pihak, ramal-meramal nggak hanya sebatas urusan peruntungan di masa depan. Lewat berbagai metode, mulai dari astrologi, tarot, garis tangan, dan macam-macam lagi, karakter seseorang pun bisa dianalisa lewat penerawangan para ahli nujum, bahkan program komputer. Jasa meramal pun seringkali tidak ditawarkan dengan gratis, apalagi kalau pembacaan dilakukan secara personal dan terperinci.

Menurut gue, seseorang nggak hanya punya rasa ingin tahu terhadap keadaan sekelilingnya, tapi juga dirinya sendiri. Makanya, pembacaan karakter pribadi lewat metode-metode ramalan punya daya tarik tersendiri buat gue. Biasanya, gue coba juga mencocokkan hasil-hasil pembacaan itu dengan hasil tes psikologi (I am an INTP, by the way), maupun keadaan diri sendiri secara empiris, dan ternyata lumayan banyak benarnya.

Pucuk dicinta ulam tiba. Beberapa waktu lalu, dalam rangka menulis tentang tren jasa astrologi, gue mewawancara tiga orang pakar ramal-meramal dengan bidang keahlian masing-masing: pembaca karakter lewat horoskop, pembaca kartu tarot dan garis tangan, serta pembaca aura.

Secara garis besar, ketiganya punya kesamaan: karena hasil pembacaan mereka bisa dijelaskan dengan logika, bahkan bisa diperbandingkan keakuratannya dengan tes psikologi pada umumnya, mereka enggan dianggap bahwa ramalan adalah hal yang klenik atau mistis. Apalagi, dua di antaranya tidak menawarkan jasa ramal nasib, melainkan murni menganalisis kepribadian.

Sebagai seseorang yang sudah mencoba sendiri jasa mereka, gue mengakui hal ini. Gue nggak kesulitan memahami analisis mereka, ataupun terheran-heran dari mana mereka bisa mendapatkan hasil pembacaan itu. Paling-paling, gue dibuat bengong ketika apa yang mereka paparkan ternyata memang benar, padahal mereka semua belum pernah ketemu gue sebelumnya. 

Dengan adanya hal-hal yang sesuai sama kondisi nyata, hasil bacaan ketiga ahli ramal ini pada akhirnya gue manfaatkan sebagai bahan refleksi diri, sekaligus langkah awal untuk berusaha ‘memerbaiki’ masa depan. Karena, menurut sang pembaca aura, masa depan seseorang sangat mungkin berubah, tergantung dari apa yang dilakukannya saat ini. 

Menilik hasil analisis karakter, khususnya lewat pembacaan horoskop dan aura, rasanya seperti membaca buku panduan tentang diri sendiri. Kesempatan untuk lebih mengenali dan memahami diri sendiri turut membantu gue menerima segala "kelebihan" dan "kekurangan" pribadi. Meminjam kata-kata sang pembaca karakter, perbaikilah apa yang bisa diperbaiki, tapi jangan terlalu keras pada diri sendiri, karena kita tidak harus bisa melakukan segalanya.

Untuk soal ramalan nasib, gue berusaha santai-santai saja, meskipun hasilnya berhasil bikin gue girang sekaligus gentar. Sang pembaca tarot, yang sempat memeriksa garis tangan kiri gue dan memaparkan beberapa hal terkait masa depan, juga mengingatkan hal yang sama. Dia bilang, seorang peramal hanya bisa membacakan apa yang dilihatnya, dengan tujuan semata-mata membantu kliennya memberdayakan diri mereka sendiri. 

Pada akhirnya, percaya tidak percaya, ramalan akan selalu dicari oleh orang-orang yang dirundung rasa ingin tahu. Ke mana mereka memilih untuk bertanya, itu adalah pilihan mereka sendiri.