Pages

Friday, November 29, 2013

Resensi: Rhapsody (Mahir Pradana, 2013)

Awalnya, gara-gara judulnya, awalnya saya mengira Rhapsody akan kental dengan penceritaan tentang musik (Bohemian Rhapsody, anyone?). Ternyata, setelah mengintip kamus, kata ini juga berarti "an ecstatic expression of feeling or enthusiasm." 

Ditambah dengan kalimat "Selalu ada alasan untuk pulang" di sampulnya, saya langsung terpikir satu kata: homesick. Saat seseorang merindukan rumahnya, alasan apapun yang memberi mereka kesempatan untuk pulang bisa membuat mereka senang bukan kepalang.

Dalam Rhapsody, di titik inilah cerita berawal. 

Terinspirasi dari pengalamannya saat melancong di Eropa, Abdul Latif Said alias Al memutuskan untuk 'menyulap' hotel peninggalan orangtuanya di Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi sebuah youth hostel. Dibantu Bambang alias Bebi, yang sebelumnya bekerja di salon kakak perempuannya, Al mengelola hostelnya, Makassar Paradise, yang berada di pesisir Pantai Losari. Uniknya, ternyata nama hostel Al ini punya inisial yang sama dengan sang penulis, Mahir Pradana. Quite a catchy detail!

Sementara itu, meski sempat goyah karena usahanya seolah berjalan di tempat. Al berupaya bertahan, berpegangan pada kekuatan cita-citanya.

Aku meyakini bahwa jika aku berhasil merealisasikan dan membangun mimpiku, kebahagiaan akan datang dengan sendirinya untuk mewarnai hidupku (halaman 11).

Meminjam istilah penulis favorit Al, Paulo Coelho, semesta pun berkonspirasi untuk mewujudkan impiannya menjadi pemilik sebuah hostel. Datanglah Miguel Luis Carrion Martinez, jauh-jauh dari Madrid, Spanyol, dengan alasan yang terlalu bagus untuk jadi nyata, tapi sungguhan adanya.

"Takdir membawaku ke sini. Terus terang, aku pun tidak mengerti. Tapi, bermodalkan keyakinan dalam hati, aku memilih jalanku. Dan, semuanya harus dimulai dengan membalas budi kepadamu. That's why I'm here." (halaman 64)

Sejak munculnya Miguel, kejutan demi kejutan hadir dalam hidup Al. Tak hanya bisnisnya yang maju pesat, kisah asmaranya pun kembali semarak. Al kembali berjumpa dengan mantan kekasihnya di masa SMP, Sari, yang datang ke Makassar untuk berlibur. Padahal, di saat yang sama, ia masih berusaha memulihkan luka hatinya akibat dikhianati mantan pacarnya yang terakhir, Nadia, saat masih berada di Eropa.

Ada orang bijak zaman dulu yang bilang, history teaches everything including the future (halaman 76).

Sementara itu, kejutan-kejutan yang telah datang tak selamanya menyenangkan. Al pun harus berjuang untuk memertahankan hal-hal yang membawa rhapsody dalam hidupnya, yaitu impian dan cinta sejati.

Terlepas dari kisah Al sebagai tokoh utama, saya justru lebih terpikat pada karakter Miguel. Pengembaraannya ke negeri asing, yang digerakkan oleh tujuan membalas budi, justru menjadi awal hidup baru yang menantang, namun kemudian membawa kebahagiaan tak terduga. Jika saja Al tak pernah pergi ke Eropa, cerita hidup Miguel akan lebih menarik untuk diangkat dalam novel. Di beberapa bagian cerita, penggambaran kisah Miguel seolah mencuri spotlight, membuat sang tokoh utama cemburu. 

Di lain pihak, kisah cinta memang tak harus melulu penuh drama. Dalam Rhapsody, sosok pembawa tawa itu hadir lewat tokoh Bebi. Tak hanya membantu Al mengurus hostelnya, Bebi tampil sebagai sidekick yang setia, sekaligus comic relief dalam cerita lewat logat okkots-nya. Tak muncul hanya sebagai tokoh tempelan, sisi lain Bebi pun terkuak saat ia mengungkapkan isi hatinya pada Al.

"...Di hostel ini, orang-orang tidak pernah menertawakan saya. Sebaliknya, di tempat ini, orang-orang tertawa bersama saya." (halaman 147 – my favourite 'human moment'!)

Salah satu kekuatan Rhapsody, menurut saya, adalah latar ceritanya. Berbekal pengalaman mengunjungi sejumlah kota di benua Eropa dan tumbuh besar di Makassar, Mahir menggambarkan pesona kota-kota itu sambil mengajak pembaca menyusuri masa lalu Al. Selain itu, lewat tokoh Sari, yang kemudian diceritakan memenangkan kontes kecantikan dan bepergian keliling dunia, pesan-pesan seputar pentingnya traveling turut diperkuat. Aspek ini memang bukan sesuatu yang baru dalam karya-karya penulis Indonesia. Tapi, sebagai seseorang yang suka diajak jalan-jalan, termasuk lewat cerita orang lain, saya cukup menikmati kesempatan untuk 'melancong' bersama tokoh utama.

Dengan adanya kilas balik perjalanan Al di Eropa, juga acara tur keliling tempat-tempat bersejarah yang menjadi program andalan hostel Makassar Paradise, Rhapsody tidak semata menawarkan kisah dua sejoli yang dimabuk asmara. Ada berbagai bumbu yang ikut memerkaya kisahnya, mulai dari kekuatan impian hingga keindahan negeri sendiri, menjadikan Rhapsody sebuah kisah tentang cita dan cinta yang menghangatkan hati.


P.S: Kalau novel pertama Mahir, Here, After, membuat saya teringat kata-kata Jenderal Tian Feng di serial Kera Sakti, "Sejak dahulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir", Rhapsody meninggalkan sebuah pesan tentang pentingnya tempat pulang: Home is where the heart is. 

No comments:

Post a Comment