Pages

Tuesday, January 29, 2013

Hari 23: Sukacita

Tadinya kenikmatan ini mau kutunda hingga tengah hari, namun rupanya aku tidak begitu mahir menahan diri.

Selalu ada yang pertama kali untuk segala hal. Aku tahu bahwa aku harus memberanikan diri, maka itulah yang kuputuskan untuk kulakukan.

Rasanya seperti melayang, padahal aku baru saja memulai. Seolah ada sesuatu yang tajam melesat naik ke kepalaku, membuatnya terasa ringan. Mengejutkan, tapi sekaligus melegakan. Penciuman pun rasanya jadi lebih peka, membuatku mulai mampu menikmati aroma yang menguar.

Sudah sampai di sini, aku tak bisa berhenti. Aku sudah terlalu rakus dan tidak lagi peduli dengan pentingnya mengendalikan diri. Sekarang yang bisa kulakukan hanya menyerah pada keinginan untuk terpuaskan.

Untung aku tak lupa membungkusnya sebelum mulai menikmatinya, kalau tidak, bisa jadi akan lain rasanya.

Sesaat aku ragu. 

Saat membicarakan hal ini, dunia selalu mengisyaratkan adanya kenikmatan tak terbantahkan. Tapi mengapa kini aku malah tak bisa menahan air mata? Lagipula, sensasi yang kini kualami tak lepas dari rasa tidak nyaman.

Masa bodoh. Ini menyenangkan. Dan aku ketagihan.

Di tengah-tengah semua ini, kau bertanya, "kenapa nangis?"

Senyumku tergurat jelas di mataku yang basah. Kutunjukkan padanya apa yang kupunya dalam genggaman.

"Ada wasabi dalam onigiri ini."

Thursday, January 24, 2013

Hari 18: Kata dan Nada

Kemarin ada tiga hal yang kusut: kemejamu, wajahmu, dan suasana hatimu. Untuk penawar dua dari tiga keruwetan itu, kuberikan padamu sebuah daftar: 30 Days Song Challenge. Aku menantangmu untuk menuntaskannya dalam sehari. 

"Tuliskan satu lagu untuk masing-masing tema harian, dan lengkapi dengan sebaris lirik dari lagu itu yang paling membuatmu terkesan. Mudah-mudahan, cerita hidupmu dalam setiap lagu bisa menjadi pengingat bahwa hari kemarin ada untuk mempersiapkanmu akan kedatangan masa depan, supaya kamu bisa menghadapi segala kejutan dengan senang hati," begitu bunyi aturan main yang kubuat untukmu.

Hari ini, kau kembali dengan daftar yang sudah penuh terisi, dan senyum tercerahmu sepanjang tahun ini.

Day 01: Your favourite song (Folding Chair - Regina Spektor)
"I've got a perfect body, cause my eyelashes catch my sweat. Yes, they do, they do."

Day 02: Your least favourite song (Starships - Nicki Minaj)
"Bad bitches like me, is hard to come by."

Day 03: A song that makes you happy (Yellow Submarine - The Beatles)
"As we live a life of ease, every one of us has all we need... Sky of blue and sea green, in our yellow  submarine."

Day 04: A song that makes you sad (The Scientist - Coldplay)
"Question of science, science and progress, do not speak as loud as my heart..."

Day 05: A song that reminds you of someone (
Rule the World - Take That)

"Yeah you and me we can light up the sky, if you stay by my side, we can rule the world."

Day 06: A song that reminds of you of somewhere
(Vakansi - White Shoes and the Couples Company)
"Jangan marah, mari bernyanyi saja..."

Day 07: A song that reminds you of a certain event (
Soft Revolution - Stars
)
"We are here to make you feel, it terrifies you but it's real."

Day 08: A song that you know all the words to (Magic - Only Son)
"It takes so long to understand, and just a second to choose... And if you figure out which hand, I'll give everything to you..."

Day 09: A song that you can dance to (If I Can Dance - Sophie Ellis Bextor
"If I lose myself to rhythm, doesn't mean I lose control..."

Day 10: A song that makes you fall asleep (No Surprises - Radiohead [Regina Spektor cover]) 
"I'll take a quiet life, a handshake of carbon monoxide... With no alarms and no surprises."

Day 11: A song from your favourite band (Heard It on the Radio - The Bird and The Bee)
"Now that I think back, it wasn't what we had... They were just playing that song, made it last so long."

Day 12: A song from a band you hate
(What Makes You Beautiful - One Direction)

"But when you smile at the ground it aint hard to tell... You don't know, oh oh, you don't know you're beautiful." *insert "BLAH" face here*

Day 13: A song that is a guilty pleasure (Somebody That I Used to Know - Gotye ft. Kimbra)
"But you didn't have to cut me off, make out like it never happened and that we were nothing..."

Day 14: A song that no one would expect you to love (Ruang Rindu - Letto)
"Dan aku mulai takut terbawa cinta, menghirup rindu yang sesakkan dada..."


Day 15: A song that describes you (Humdrum - The Corrs)
"I have vision like no other, so romantic you'll discover..."

Day 16: A song that you used to love but now hate (The Smiths - There is a Light That Never Goes Out)
"Take me out tonight, because I want to see people and I want to see life..."

Day 17: A song that you hear often on the radio (Wide Awake - Katy Perry)
"I'm wide awake, and now it's clear to me... That everything you see ain't always what it seems."

Day 18: A song that you wish you hear on the radio (Slipping Through Your Fingers - Trickbaby)
"Taking a day trip from this tragic kingdom, give myself a small safe taste of freedom..."

Day 19: A song from your favorite album (Suddenly I See - KT Tunstall, from The Devil Wears Prada original soundtrack album)
"
Oh she makes me feel like I could be a tower, a big strong tower... She got the power to be, the power to give, the power to see..."


Day 20: A song that you listen to when you’re angry (Mowgli's Road - Marina and the Diamonds)
"You say Y-E-S to everything, Will that guarantee you a win? Do you think you will be good enough to love others and to be loved?"
 
Day 21: A song that you listen to when you’re happy (Material Girl - Madonna [Richard Cheese cover])
"Some boys try and some boys lie but I don't let them play, only boys who save their pennies make my rainy day..."
 
Day 22: A song that you listen to when you’re sad (Chinese - Lily Allen)
"You wipe the tears from my eye, and you say that all that it takes is a phone call."

Day 23: A song that you want to play at your wedding (All I Want is You - U2)
"All the promises we make, from the cradle to the grave... When all I want is you."

Day 24: A song that you want to play at your funeral (I Have Seen It All - Bjork ft. Thom Yorke)
"I've seen what I was, I know what I'll be... I've seen it all, there is no more to see."
 
Day 25: A song that makes you laugh (Make 'Em Laugh - Donald O'Connor)
"Make 'em laugh, make 'em laugh... Don't you know everyone wants to laugh?"

Day 26: A song that you can play on an instrument (Ibu Kita Kartini)
"Putri Indonesia, harum namanya..."

Day 27: A song that you wish you could play (Hedwig's Theme - John Williams)
Well, it's instrumental, so I cannot write any words to go along with this track. However, if you are into Harry Potter, you've must known the song.
 
Day 28: A song that makes you feel guilty (Hold On - Michael Buble)
"So hold on to me tight... Hold on, I promise it will be alright."

Day 29: A song from your childhood (Balonku)
"Meletus balon hijau, 'Dor!' Hatiku sangat kacau..."

Day 30: Your favourite song at this time last year (Sinnerman - Nina Simone)
"So I run to the Lord, please help me Lord... Don't you see me prayin'?"


"Benar kan, apa yang kubilang. Music will prevail!" seruku penuh kemenangan.

Wednesday, January 23, 2013

Hari 17: Lelah

Curiosity kills the cat, begitu kau pernah bilang padaku. Tapi, rupanya rasa ingin tahu juga dapat membuat lelah, seperti yang terjadi pada Sitara.

Sitara adalah tetanggamu, dan dulu teman mainmu. Tak jarang, bahkan hingga sekarang, kau berpapasan dengannya saat melangkah pulang, dan kalian akan bertukar senyum singkat sebelum melanjutkan perjalanan.

Kau dengar dari ibumu, yang mendengarnya dari cerita ibu Sitara, bahwa gadis itu sekarang sedang kuliah strata dua, di samping menjadi asisten dosen dan melakukan penelitian di kampusnya. Meski bisa jadi sarat hiperbola dari seorang ibu yang bangga pada anaknya, kabar tentang Sitara membuatnya tampak di matamu seperti bintang pagi, yang sedang terang-terangnya di penghujung malam.

Beberapa minggu yang lalu, Sitara menulis di status Facebook-nya, "I came back to school for the love of knowledge driven by my curiosity, and that is not because I do not have a life." Dalam hati kau setuju, namun diam-diam penasaran apa yang membuat Sitara berkata demikian. Gadis itu bukan orang paling ekspresif yang kau kenal, dan hampir tidak pernah terlihat aktivitasnya di situs jejaring sosial.

Sepanjang hidupnya, Sitara mengandalkan rasa ingin tahu. Baginya, tanpa keinginan untuk mencari tahu, pikirannya tak berarah, dan eksistensinya tak bertujuan. Proses pencarian membuat dirinya merasa berguna, karena ia tahu kemudian apa yang akan ia dapatkan tidak akan sia-sia. Namun, akhir-akhir ini, ia tak habis bertanya-tanya, sesungguhnya untuk apa ia melakukan semua itu.

Tentu ia tahu untuk apa ia melakukan penelitian dan melanjutkan sekolah, dan mengapa ia memilih kembali ke kampus alih-alih menyerah pada godaan korporasi untuk "bekerja di kantor". Tapi, kini ia tak yakin bahwa ia sungguh mengetahui apa yang dia kira diketahuinya.

Sitara kini merasa begitu lelah. Di usia di mana teman-temannya mulai membina rumah tangga atau sibuk meniti tangga karir, ia masih berada di ruang yang sama seperti hampir sepuluh tahun lalu. Di kampus, belajar, dan tak punya pacar. Sitara pun gundah, larut akan anggapan bahwa pencariannya seolah tidak membawanya ke mana-mana.

Kau mungkin orang yang paling mudah menyerah pada rasa iri. Begitu mudah bagimu untuk menemukan lima alasan yang membuatmu berharap memiliki kehidupan orang lain yang baru kau temui. Dan kau begitu iri pada Sitara, yang sepertinya akan begitu mudah menaklukkan dunia dengan kecerdasannya.

Sitara sendiri sudah bosan ditinggal sendirian dengan pertanyaan-pertanyaannya, yang seringkali tak terjawab karena berbagai alasan. Ia berusaha sekeras mungkin untuk tidak menyerah, tapi kadang begitu sulit untuk menemukan jawaban tanpa melalui penghakiman. Disebut perempuan yang tidak paham kodrat, atau orang yang lebih mementingkan logika daripada memercayai sabda Tuhan, adalah sedikit dari banyak label yang dituai Sitara dari segala pertanyaan dan pernyataannya.

Sesungguhnya, Sitara tahu bahwa berhenti bertanya bukanlah sebuah pilihan.

Tapi, mungkin sudah cukup untuk hari ini.

Kelak, jika jawaban yang ditemukannya tak sesuai dengan nalar atau kata hatinya, ia tinggal mencarinya di tempat lain. Ia hanya perlu merawat rasa ingin tahunya, agar alih-alih menghabiskan nyawa kucing, untuk dapat lebih menghargai hidup.

Tuesday, January 22, 2013

Hari 16: Amara(h)

Jalanan ibukota dipenuhi air pekan lalu, namun kepalaku sepi stok cerita untukmu. Aku janji akan melunasi utang ini sebelum bulan baru.

Ada yang agak ganjil dari Amara, rekan terdekatmu di tempat kerja, hari ini. Gadis yang biasanya periang itu wajahnya kusut sedari pagi.

Amara sedang marah hari ini. Pacarnya seolah memutuskan membuat praduga bahwa ia sedang mengalami sindrom pramenstruasi, dan memilih untuk tidak menghubungi. Tapi, sebenarnya bukan perubahan hormon yang membuat Amara geram setengah mati.

Sejak dini hari, Amara sudah bersusah hati. Pukul satu pagi tadi, ia menemukan sepotong kefanatikan dalam bentuk status jejaring sosial yang bicara panjang lebar tentang moralitas pribadi. Tak cukup dengan cacat logika yang dikemukakan di dalamnya, status itu disukai setidaknya sembilan ratus orang, dan menuai lebih dari seratus komentar bernada menyetujui. Ia tak habis pikir, mengapa ada begitu banyak orang yang begitu malas menggunakan nalar mereka sendiri.

Pikiran Amara kadang memang berbuntut panjang, seperti truk gandengan atau gerbong kereta api. Semakin lama dibiarkan berjalan, semakin jauh ia melaju pergi. Kata-kata dalam status itu tertinggal di kepala Amara, melekat dan membayang-bayangi. 

Mengapa orientasi seksual dan status pernikahan seseorang menjadi penakar yang dibenarkan untuk menilai baik-buruk moral seseorang dalam status itu, Amara tak mengerti. Ia juga tak paham alur logika yang memadankan banjir dengan perayaan tahun baru, atau mengapa sebagian orang memilih berlindung di balik ke-Mahabenar-an Tuhan mereka sendiri. Ia heran mengapa sebagian orang begitu fasih menghakimi, menganggap bahwa merekalah yang paling benar di muka bumi.

Ia merasa bagaikan penyihir di abad pertengahan, yang dimusuhi dan ditinggalkan sendiri.

Saku blazer Amara bergetar pelan, pertanda datangnya sebuah pesan.

"Sayang, ayo pulang. Mau sampai kapan kamu di kantor?"

Amara melirik jam dinding di ruang kerjanya. 

Senin sudah jadi Selasa.

Wednesday, January 16, 2013

Hari 10: Sihir

Kadang ada hal-hal yang terasa begitu ajaib, bahkan terlalu bagus untuk jadi nyata. Lalu, begitu terjadi, kau akan menganggapnya satu dari dua hal, keajaiban, atau tipuan mata.

Kata Jack Dishel alias Only Son, sesuatu akan tampak bagaikan sihir hingga kau tahu bagaimana cara kerjanya.

 

"It's magic till you know how it works, nobody wants to see how you do it... The secret is all that you're worth, so they smile and clap right through it..."

Kau tidak pernah percaya kebetulan. Kau bilang, semua yang terjadi dalam hidup semua orang adalah pengejawantahan rencana Tuhan, yang sudah dirancang begitu matang, untuk kemudian terjadi begitu saja.

"It took so many years to plan and just a second to do, to open up my hand and show everything to you..."

Kejutan pun kadang-kadang datang seperti sihir. Datang tanpa permisi, lalu membuatmu terkesima, dan pergi bersama angin yang berdesir.

"It's magic when you know how it works... 'Cause even if you find a location, you know all the numbers and words, but you'll never guess the combination..."

Kau pernah bilang padaku, kau lupa rasanya jatuh hati. Kau tak ingat pernah memahami alasan yang membuat cinta bisa dibenarkan, tapi kau memang tidak ingin mengerti. Kau hanya ingin dikejutkan, dengan kedatangan seseorang yang bisa membuatmu jatuh cinta sampai mati.

"It takes so long to understand, and just a second to choose... And if you figure out which hand, I'll give everything to you..."

Tuesday, January 15, 2013

Hari 9: Riasan Kalyani

Kau pernah bilang, kau tak pernah mengerti mengapa perempuan begitu senang merias diri. Jika memang menarik dari dalam diri, mereka tak perlu khawatir dengan penampilan duniawi. Maka, kurasa kau perlu mendengar cerita tentang Kalyani.

Tahun lalu, Kalyani berangkat ke Korea Selatan untuk kuliah pascasarjana. Begitu ia kembali, kau menyadari ada perubahan drastis dalam penampilannya. Rok dan terusan menggantikan celana jins panjang belelnya. Rambut sebahunya yang biasa diikat ekor kuda kini digerai rapi dan tertata. Bibir dan pipinya kini tak pernah sepi dari pulasan warna. Saat kau melihat lebih dekat, matanya dibingkai garis serupa mata kucing dan bulu matanya dilapisi maskara.

“Tumben dandan,” tanyamu pada Kalyani saat bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.

“Iya, jadi kebiasaan sejak di Seoul, soalnya anak-anak di kampus semuanya begitu. Datang kuliah tanpa make-up itu serasa ga pakai baju,” jawabnya ringan.

Dan begitulah akhirnya. Kau menganggap Kalyani menyerah pada prinsipnya untuk mengutamakan kecantikan dalam diri lewat kecerdasan intelektual dan emosional. Sementara itu, Kalyani menilaimu terlalu serius dan kaku dalam menghadapi perubahan gayanya. Kalian pun sejak itu berhenti saling menghubungi.

Biar kuberitahu awal perkenalan Kalyani dengan kosmetik di negeri ginseng.

Di hari pertama kuliah, Kalyani seolah mengalami gegar budaya begitu melihat semua teman sekelasnya berdandan lengkap. Ia pun menoleh dan bertanya pada seorang gadis Korea di sampingnya.

“Girls here get their confidence from little boxes and sticks people call cosmetics. You can never know how divine they can be, but once you have them on your face, you can tell,” jawabnya.

Yun, begitu nama gadis itu, tak butuh waktu lama untuk menjadi sahabat baru Kalyani. Setelah kelas mereka berakhir hari itu, Yun mengajak Kalyani ke kamar asramanya untuk didandani. 

Setibanya di sana, Kalyani terkesima melihat koleksi kosmetik dan produk perawatan kulit Yun. Di sanalah ia berkenalan dengan make-up base, BB cream, primer, dan pelentik bulu mata elektrik. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan wajahnya disentuh kuas yang melapisi wajahnya dengan alas bedak dan mewarnai bibir, pipi, dan matanya, ketika tidak ada upacara adat atau resepsi pernikahan. Dan Kalyani tidak bisa tidak terpana.

Sejak itu, Kalyani seperti punya hobi baru. Bersama Yun, ia menjelajahi penjuru kota Seoul, mengunjungi satu konter kosmetik ke konter produk perawatan kulit yang lain, mencoba berbagai varian dan mengumpulkan sebanyak mungkin sampel. Kalyani juga jadi betah lama-lama berselancar di internet untuk menonton berbagai macam tutorial rias wajah dan mengunjungi blog-blog kecantikan. Dari ulasan-ulasan yang dibacanya, ia memilih dan menentukan pembersih wajah yang paling sesuai dengan jenis kulitnya, perona mata yang paling tahan lama, dan kuas rias yangtidak cepat rontok bulunya.

Tidak, bantah Kalyani, ini bukan hobi. Ini pelajaran baru, dan ia tengah mendidik dirinya sendiri. Tiba-tiba ia berpikir, ke mana saja dia selama ini?

Selama ini, ia diam-diam meremehkan perempuan yang berdandan, menganggap bahwa mereka sibuk merias diri karena kecantikan yang hanya sebatas muka. Tanpa niatan memahami mereka yang ada di sisi berseberangan, ia duduk manis di sudut nyamannya, dan sesekali melempar komentar sinis.

Selain merias wajahnya, Kalyani merasa perlu mendokumentasikan transformasi pandangannya tentang kemolekan fisik. Untuk itulah, ia membuat serangkaian tulisan tentang ritual kecantikannya, yang kemudian ia pajang di blog pribadi. Ia bercerita tentang caranya merawat rambut dan tubuh, ritualnya membersihkan wajah di awal dan akhir hari, dan mengulas produk-produk kecantikan yang pernah dan tengah dicobanya. Dalam tulisan terakhirnya, ia menegaskan pentingnya menghapus rias wajah sebelum tidur, dan bagaimana berdandan justru membuatnya lebih telaten merawat kulit muka yang sudah seharian ditimpa kosmetik.

Kalyani memang sedang senang-senangnya, dan ia begitu antusias untuk berbagi. Lewat kotak ajaib kecil berupa palet perona mata, bibir, dan pipi, Kalyani kembali menemukan kesenangan masa kecilnya. Mengenakan lipstik merah dan sepatu hak tinggi hitam milik ibunya adalah kegemaran Kalyani saat itu. Ia lalu akan keluar dari kamar orangtuanya, berkata, “Ibu, ayo kita ke kantor!”, dan sang ibu akan tersenyum melihat tingkahnya.

Namun, cerita yang ini bukan untuk dikonsumsi pembaca blognya.

Kalyani tidak pernah melihat ibunya berdandan lagi sejak lima belas tahun yang lalu. Tahun itu ia lulus SD, dan ibunya menikah lagi tak lama setelah ayahnya bunuh diri. Suami baru sang ibu melarangnya bekerja, dan menyuruh beliau tinggal di rumah saja. Rias wajah bahkan menjadi sesuatu yang haram di rumah baru Kalyani, karena dianggap sebagai alat perempuan untuk menggoda laki-laki.

Tidak semua perempuan mendapatkan kesenangan yang sama lewat berdandan, tulis Kalyani, namun bagi saya, merias wajah adalah penting untuk menampilkan diri saya dalam versi yang lebih baik dari segi fisik, sebagai bentuk upaya menghargai diri sendiri dan orang lain yang saya temui. Toh, saya percaya bahwa riasan seharusnya membuat wajah seorang perempuan terlihat kelebihannya dan tersembunyi kekurangannya, dan bukannya tampak sama seperti semua perempuan lainnya di dunia.

Rias wajah hanya salah satu dari banyak jalan yang dapat ditempuh seorang perempuan untuk merasa nyaman dengan tubuhnya sendiri. Jalan yang Anda pilih mungkin berbeda, karena bisa jadi kepercayaan diri Anda bersumber dari kotak ajaib kecil yang lainnya. Tak jadi soal, dan tak perlu jadi soal.

Kalyani menggerakkan kursornya ke tombol “Publish”, berharap kamu membacanya suatu saat.

Monday, January 14, 2013

Hari 8: Pesan di Bawah Pintu

Hari ini kau seperti bersembunyi. Tidak ada di manapun untuk bisa ditemui, atau bahkan dihubungi. Ke mana kau ini? Ini baru hari Senin, terlalu awal untuk merasa tidak percaya diri. 

Kuputuskan akhirnya untuk menyelipkan pesan. Semoga berguna, mudah-mudahan.



Jaga dirimu baik-baik.

Sunday, January 13, 2013

Hari 7: Mengulas Cerita - Potret Realita di The Truman Show

Kisah nyata seolah memiliki daya tarik tersendiri bagi khalayak, saat mereka menikmatinya lewat tulisan atau gambar bergerak. Tak hanya buku atau film yang laris di pasaran memiliki keterangan “based on true story”, televisi pun tak luput dari tayangan semacam ini.

Menurut Charles B. Slocum dari Writers Guild of America, West, reality show sudah tampil di layar kaca sejak Alan Funt menghadirkan serial televisi Candid Camera pada 1948. Sejak saat itu, tayangan jenis ini berkembang pesat dalam berbagai format, salah satunya adalah menyediakan sebuah lingkungan di mana “realitas” diciptakan. Dalam film, reality show jenis ini disajikan dengan memukau dalam The Truman Show (1998).


Film yang disutradarai Peter Weir (Dead Poets Society, Master and Commander: The Far Side of the World) ini mengisahkan tentang Truman Burbank (Jim Carrey), yang setiap detik hidupnya terdokumentasikan dalam sebuah tayangan televisi yang disiarkan 24 jam sehari ke seluruh dunia. Dunianya bernama Seahaven, sebuah kota yang direkayasa dalam studio superbesar di Hollywood. Semua aspek hidup Truman, mulai dari keluarga hingga cuaca, berada dalam kendali sang produser eksekutif Chistof (Ed Harris), untuk merekam langsung segala reaksi manusiawinya ketika berada dalam situasi tertentu. Hal ini berlangsung selama 30 tahun masa hidup Truman, dan ia sama sekali tidak tahu-menahu.

Menyaksikan film ini di tahun 2013, The Truman Show seolah bukan fiksi. Dengan begitu maraknya reality show di layar kaca setidaknya sepuluh tahun belakangan ini, kehidupan “orang biasa” punya nuansa yang tak kalah menarik untuk disaksikan. Menjadi terkenal pun bukan lagi mimpi, asal seseorang bisa ikut serta dalam ajang pencarian, mulai dari bakat hingga jodoh, untuk kemudian ditayangkan di televisi. Hari ini, apa yang penonton saksikan di The Truman Show bisa benar-benar dilihat di televisi, setidaknya secara garis besar. Belum lagi kalau tayangannya diperpanjang, musim demi musim.

Lewat reality show, banyak orang berhasil memeroleh popularitas sekejap, atau dalam istilah Andy Warhol, the fifteen minutes of fame. Bedanya, orang-orang yang ada di dalam reality show sadar akan keterlibatan mereka dalam realitas yang dipentaskan. Jika Kim Kardashian dengan sadar “menikah” dengan Kris Humphrey demi publisitas, Truman tidak tahu bahwa ada lebih dari lima ribu kamera tersembunyi mengawasi gerak-geriknya, dan semua orang yang ditemuinya adalah artis yang dibayar. Sepengetahuan Truman, hidupnya adalah normal, dan tidak menuai popularitas internasional.


Kenyataan sering dilabeli “pahit” atau “menyakitkan”, namun dalam dunia Truman, kenyataan hadir bagaikan dibalut gula. Christof punya pembenarannya sendiri atas hal ini, saat dikonfrontasi oleh Sylvia, seorang mantan figuran The Truman Show yang sempat menarik perhatian “sang bintang” sebelum kemudian disingkirkan.

I have given the chance for Truman to lead a normal life. The world, the place you live in, is the sick place. Seahaven is the way the world should be.

Tapi, sungguhkah Seahaven, dunia di mana sang pencipta adalah pembuat acara televisi, adalah bagaimana dunia sebagaimana mestinya? Toh, akhirnya Christof membantah kata-katanya sendiri.

There is no more truth out there than there is in the world I created for you. The same lies, the same deceit. But in my world, you have nothing to fear,” tuturnya. Untuk itulah, Christof senantiasa berupaya memadamkan hasrat Truman untuk bepergian dan melihat dunia, selain demi memertahankan keberlangsungan acaranya di televisi, tentunya.

Dalam kehidupan nyata, kita bisa bertualang ke mana saja tanpa membentur dinding ujung dunia. Kita dapat melakukan sesuatu yang diinginkan, meskipun keinginan itu seperti ditentang seluruh kota, tanpa kemudian mendengar suara sang pencipta berbicara pada kita seolah hendak menurunkan wahyu.

Lewat The Truman Show, penonton belajar bahwa kenyataan yang ada “di luar sana” haruslah menjadi yang dipilih, alih-alih keadaan semu dalam kubah masif yang serba terkendali. Kenyataan, sebagaimanapun menyakitkan, akan lebih baik diketahui daripada disembunyikan, dan toh pada akhirnya yang dirahasiakan akan akan ketahuan.



Christof boleh beranggapan bahwa Seahaven adalah dunia seharusnya, namun ia juga menyadari bahwa Seahaven bukan dunia sebagaimana adanya. Namun, terlepas dari seperti apapun dunia dan realita, toh Christof paham akan satu hal yang tak kalah penting, “We accept the reality of the world with which we are presented; it's as simple as that.

Saturday, January 12, 2013

Hari 6: Merindu Rubi

Aku tak ingin bercerita untukmu hari ini. Tidakkah kamu bosan mendengar kisah-kisah tentang orang lain, dan tergoda untuk membicarakan dirimu sendiri?

Kau tersenyum. Apa yang kau ingin tahu?

Entahlah. Apa pun. Berceritalah padaku, berceritalah untukku, tentang hidupmu. Ayolah, ini malam Minggu dan kita punya waktu semalam suntuk.

Aku rindu Rubi, katamu mendadak. Aku terkejut bukan main. Rubi? Yang benar saja!

Rubi adalah teman mainmu semasa sekolah. Kalian begitu dekat saat itu, seolah sudah seperti saudara sekandung yang tak terpisahkan. Dengan cerita masa lalu yang nyaris serupa, tak heran kau dan Rubi menjadi akrab sangat cepat. Namun, begitu ia meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan kuliah di Australia, kalian menjauh satu sama lain, dan akhirnya kini kalian seperti tidak pernah saling mengenal.

Diam-diam aku cemburu. 

Sejak dulu, aku tak pernah merasa Rubi adalah teman yang baik untukmu. Aku ingat betapa kau dibuat patah hati karena ia membiarkan teleponnya begitu saja, meninggalkanmu tanpa suara ketika kau menghubunginya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Saat itu, kau begitu merana, dan tak henti bertanya, sebenarnya salahku apa?

Aku memberanikan diri bertanya, mengapa begitu tiba-tiba?

“Aku blogwalking semalam, lalu menemukan blognya. Di sana ada tautan ke profil Flickr-nya, jadi kubuka saja.”

Lalu, ada apa di situ? 

Kusodorkan komputer tabletku, membiarkanmu mengakses mesin pencari untuk menemukan apa yang barusan kau bicarakan. Ketika laman itu sudah terbuka penuh, aku tidak bisa tidak tertawa.
Layar itu penuh dengan foto-foto yang memiliki satu kesamaan: sosok seorang perempuan, dengan latar belakang pemandangan asing, dan tata cahaya artifisial yang kentara. Penasaran, aku memilih salah satu foto untuk dibuka di jendela baru. Aku menemukan tulisan yang lumayan panjang di bawahnya. Rupanya, alih-alih memberi caption untuk fotonya, Rubi memutuskan menggunakan gambar jepretannya itu untuk menjadi ilustrasi sebuah cerita.

“Ini cuma pendapatku saja, atau memang pemilik profil ini adalah remaja putri berusia lima belas tahun?” Mendengar itu, kau tak bisa menahan tawa.

Maksudku, lihat saja foto-foto ini. Meskipun enak dipandang, tak bisa dipungkiri bahwa foto-foto ini sudah melalui proses penyuntingan di sana-sini, membuatku skeptis bahwa hasil foto aslinya lebih bagus dari apa yang dipajang untuk umum. Belum lagi tulisan-tulisannya, yang temanya tak jauh dari betapa dunia tidak memahaminya dan cinta begitu enggan menghampirinya, dalam bahasa berbunga-bunga khas anak muda yang baru kenal dunia. Dan, orang yang memproduksi ini semua adalah orang yang sebelumnya menyebut diri sahabatmu, lalu kemudian membuangmu begitu saja entah kenapa. 

Yang benar saja, kau merindukan orang semacam ini?

“Aku tidak merindukan dia, dalam arti aku ingin bertemu dengannya sekarang dan mendengar kisah hidupnya,” sahutmu, seolah membaca pikiranku. “Aku tidak kenal siapa dia saat ini. Aku rindu Rubi yang kukenal di masa lalu, dan saat-saat yang pernah jadi milik kami.”

Kita berdua menghabiskan dini hari mengomentari foto-foto dan tulisan-tulisan di akun Flickr Rubi, satu demi satu. Kita menertawakan Rubi, menertawakan masa lalu, menertawakan diri sendiri yang terdampar dalam nostalgia.

Mengapa kita melakukan ini? 

Mengapa seseorang melakukan sesuatu? Jim Moriarty bilang, itu karena mereka bosan. Kurasa memang demikian. Kini pun kita membicarakan orang lain, bisa jadi karena membicarakan diri sendiri sepanjang waktu sungguhlah membosankan.

“Masih rindu Rubi?”

Kau menggeleng mantap.

“Kalau jodohku dengan dia sudah habis, biar saja. Dunia tak habis dijelajahi seumur hidup, maka begitu juga kesempatan untuk bertemu orang baru dan bertukar cerita dengan mereka. Kelak menjadi teman atau tidak, untuk waktu yang lama atau tidak, tidak ada yang tahu, tapi bukankah justru ketidakpastian yang membuat hidup jadi penuh kejutan?”