Hari ini kau terlalu banyak bicara tentang konstelasi. Mulutmu
baru diam saat aku bercerita tentang Bintang.
Bintang, 27 tahun. Zodiaknya Scorpio. Itu membuatmu kesal
setengah mati karena membuatnya batal jadi Libra, yang berarti ia tergolong
kompatibel untuk kamu yang Aquarius. Tidak sepertimu, ia tak percaya ramalan
bintang.
Kamu jatuh kagum pada Bintang sejak kalian dipertemukan
dalam sebuah kegiatan ekstrakurikuler di kampus. Singkat cerita, bagimu ia
bagai sang Pangeran Impian, hanya lebih cerdas, lebih memikat, lebih menarik
untuk dijadikan teman bicara daripada berdansa… dan lebih nyata. Dia berasal
dari negeri seberang, tapi siapa peduli? Toh dia ada di sini sekarang. Begitulah
pikirmu saat itu.
Kalian berpisah untuk alasan yang sama: melanjutkan sekolah.
Kamu berhenti tergila-gila padanya karena rasa itu larut oleh jarak. Setahun kemudian
kalian kembali dipertemukan, lalu kamu kembali jatuh hati. Namun, lagi-lagi tidak
ada kelanjutan, karena ia hanya singgah sejenak sebelum pulang ke seberang
lautan. Di sanalah kemudian hatinya tertambat, pada seorang putri yang moleknya
bukan kepalang, membuatmu patah hati bukan buatan.
Dalam hidup ini, akan selalu ada hal yang tidak diketahui,
dan membuat seseorang hanya mampu menduga-duga. Salah satu hal itu, bagimu,
adalah Bintang.
Biar kuberitahu padamu sesuatu: Bintang senang berbincang
denganmu, namun tidak pernah jatuh hati padamu. Sana lanjutkan hidupmu.
Ia tidak melibatkan hatinya, meski kalian saling mengagumi. Jangan
salahkan jarak, atau bahkan kemampuan dirimu untuk memesona lelaki. Bukan perempuan
sepertimu yang ia ingini.
“Perempuan adalah pendamping, dan lelaki adalah pemimpin,”
begitu ayah Bintang selalu berkata. “Ke mana lelaki pergi, perempuan mengikuti.
Lelaki melindungi, dan perempuan menemani. Perempuan yang baik tak akan dengan
gegabah bertindak sendiri.”
Dengan nasihat itulah Bintang dibesarkan, sebagai anak
lelaki satu-satunya di antara tiga saudari. Kata-kata itu menjadi nyawa dalam
keluarganya; di mana ia menyaksikan ibunya yang begitu patuh pada sang suami. Ia
tumbuh dalam keluarga yang tentram dan berlimpah kasih, menurut ayahnya, karena
ibunya paham betul tempatnya sebagai perempuan, ibu, dan istri.
Bintang tidak pernah mendengar ayah dan ibunya bertengkar. Namun,
suatu ketika, sayup-sayup ia mendengar suara perempuan berseru, “Aku ini
istrimu, mengapa kau begitu enggan sekali saja mendengar apa kataku?”
Lalu terdengar balasan suara lelaki, “Aku suamimu, aku yang
memimpin di sini. Kau yang harus dengar apa kataku, atau keluar dari rumah ini!”
Bintang masih berusia enam tahun saat itu. Ia keluar dari
kamarnya, dan mendapati ibu serta ayahnya duduk di ujung kanan dan kiri sofa
panjang di ruang keluarga. Ia bertanya, tadi itu suara apa?
“Itu televisi, Nak,” kata ibu lembut. “Tidurlah lagi.”
Tapi Bintang tidak bisa tidak memperhatikan mata ibunya yang
sembab, dan pipi kirinya yang merah padam dengan samar-samar jejak tangan. Dan suara
perempuan itu, dengan getar yang seolah meredam luapan duka, begitu mirip
dengan ibu.
Kadang-kadang, kilasan kenangan itu kembali tanpa permisi. Kemunculan
terakhirnya membuat Bintang, yang saat itu tengah menyetir pulang sehabis dinas
malam, kehilangan konsentrasi dan menabrak pembatas jalan. Mobilnya terbalik. Bintang
selamat, namun ia gegar otak dan kaki kirinya patah. Hampir sebulan ia dirawat
inap.
Posisi ayahnya sebagai kepala rumah sakit pusat di ibu kota
memungkinkan Bintang mendapatkan perawatan terbaik. Hal itu termasuk perjumpaan dengan Radhika, putri semata wayang dokter spesialis
tulang terbaik di negerinya.
Dalam sekejap, gadis itu menawan hatinya. Ia menarik, baik
dari segi rupa, cara bertutur, maupun gaya berbusana. Sebagian perempuan di
negerinya familiar dengan nama Radhika lewat saluran YouTube-nya, di mana ia
menayangkan puluhan tutorial merias wajah. Dari sana pula, kau menyaksikan
pesona yang membuat pangeranmu terkesima.
Namun, rupanya hubungan mereka hanya berlangsung sekejap. Kau
menyadarinya ketika status Facebook pangeranmu itu tidak lagi menyatakan bahwa
ia “in a relationship with Radhika Candra”.
Ini yang kau tidak tahu: Radhika memutuskan untuk tidak lagi
mengencani Bintang, karena meskipun lelaki itu begitu mudah diidolakan dan
disayangi, “bukan berarti kamu bisa menyuruh aku berhenti berdandan, dan
menganggap aku ‘perempuan gegabah’ hanya karena aku berani membuat keputusan tanpa
meminta pertimbangan laki-laki!”
No comments:
Post a Comment