Pages

Wednesday, January 09, 2013

Hari 3: Keinginan Kama

Hujan yang tak putus sepanjang hari ini di Jakarta membuatmu mengeluh kedinginan. Cuaca tidak akan berubah bagaimanapun ia dikomentari, jadi lebih baik kita bertukar cerita untuk menghangatkan hati.

“Ngomong-ngomong, si Kama masih jomblo nggak, ya?”

Ah, tentu saja. Kama, 24 tahun, perempuan muda yang tengah menanjak karirnya, dan sepertinya mampu melakukan apa saja yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Ia terlalu tangguh, juga keras kepala, untuk ditaklukkan cinta. Banyak orang diam-diam bergunjing di belakangnya, berkata bahwa tidak ada lelaki yang terpikat padanya, karena kehidupan percintaan Kama tak pernah terdengar detaknya.

Mereka tidak tahu alasannya: Kama tidak percaya cinta. Atau, yang mungkin lebih tepat, kemampuannya untuk mencintai.

Kama pernah berpacaran beberapa kali semasa sekolah menengah dan kuliah, tapi jika ia mengingat-ingat lagi saat ini, ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia pernah bisa menjalin hubungan dengan pria-pria itu.

Apa yang membuat seseorang jatuh cinta? Kama tidak pernah tahu, karenanya ia tidak yakin bahwa ia paham. Saat sekolah menengah, ia jatuh kagum pada lawan jenis yang dipandangnya menarik secara fisik. Ia akan semakin terpesona jika lelaki itu cerdas, pandai bicara, dan memiliki banyak kesamaan dengan dirinya. Menginjak bangku kuliah, fisik menjadi prioritas kedua setelah kecerdasan, baik itu akademik maupun emosional.

Kama mudah terpikat pada lelaki overachiever, yang tahu apa mereka inginkan dalam hidup dan untuk apa mereka menginginkannya. Dan cinta, menurut Kama, tidak ada gunanya jika kedua belah pihak tidak saling menginginkan.

Tapi, rekam jejak asmaranya selama ini selalu berakhir sama. Ia dan sang lelaki sebenarnya menginginkan hal yang berbeda namun serupa: sesuatu yang mereka rekam sebagai identitas pasangannya, alih-alih diri mereka yang sebenar-benarnya. Bagi Kama, itu bukan cinta namanya, tapi hanya tergila-gila, kalau bukan jatuh kagum semata. Pada akhirnya, kata cinta menjadi sesuatu yang bersifat basa-basi, hanya demi membuat sebuah ucapan menjadi resiprokal.

Di kemudian hari, hal itulah yang menuntunnya dalam mencari “orang yang tepat”… untuk dipekerjakan. Ya, pekerjaan Kama di departemen sumber daya manusia menuntutnya untuk bertemu orang baru dan mengevaluasi apa mereka adalah orang yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Setiap hari, ia membaca setumpuk CV, mencari kandidat baru untuk beragam posisi yang kini lowong. Ia menilai dari apa yang tertulis, sebelum kemudian memanggil mereka untuk menilai dari apa yang terucap. Terkadang proses pencariannya panjang, belum lagi negosiasi yang tak jarang berbelit-belit, tapi akan selalu berujung pada kesesuaian.

Ah, andaikan mencari kekasih hati bisa semudah ini.

Tapi, sebagaimana penyelianya pernah berkata, mencari kandidat pegawai lebih mudah daripada mencari pasangan hidup.

“Cari kandidat itu gampang, karena yang kita inginkan adalah rekam jejak profesional mereka yang sebisa mungkin tanpa cela, dengan harapan akan begitu pula hasil kerjanya. Kamu tidak mau punya pasangan hidup profesional, yang mencintai kamu karena dibayar untuk itu, kan?”

Kama tahu itu, tapi ia tetap saja menggerutu. Kenapa sih urusan cinta-cintaan ini begitu rumit?

Kama bosan menghadiri pesta pernikahan sendirian. Maka, kali ini ia memutuskan untuk melewatkan resepsi teman sekelasnya waktu SMA, yang kini bahkan ia tidak lagi ingat wajahnya, dan mengunjungi pusat perbelanjaan di selatan ibukota. Di sana, ia tergoda melihat pamflet pertunjukan musik jazz yang terpajang di sebuah pusat kebudayaan. Kama pun menghampiri seorang lelaki muda dengan tanda pengenal – jelas dia bekerja di tempat ini – berdiri di depan pintu masuk.

“Wah, yang tampil malam ini Oran Etkin, ya?” celetuk Kama, antusias melihat nama salah satu musisi favoritnya.

“Iya,” jawab pria itu ramah. “Ayo, nonton… free entry, kok.”

This is awesome! Gimana ceritanya sampai berhasil ngundang dia?”

Dan pembicaraan itu pun mengalir, mulai dari musik Jazz, Amerika Serikat, dan pengalaman lelaki itu berkuliah di sana. Semakin lama mengobrol dengannya, semakin Kama tertarik. Pria itu bisa diajak bicara tentang begitu banyak hal, mulai dari perkembangan musik indie hingga isu-isu politik luar negeri. Pola pikir dan aspirasinya yang kritis tercermin dari caranya memperbincangkan tata kelola ibukota, dan bagaimana ia menceritakan mimpi-mimpinya untuk masa depan. Namun, yang paling membuat Kama terkesan, pria itu membuatnya begitu nyaman untuk bercerita tentang dirinya. Tiba-tiba, Kama teringat sesuatu.

“How silly of me, we have been talking for some time but not yet introduced!” Ia mengulurkan tangannya. “Kama.”

Pria itu membalas sambil tersenyum, “Ganesha.”

Mereka berjabatan tangan.

Dalam sekejap, dengan begitu tak terduga, percikan itu datang dan menjalar ke seluruh serat tubuh Kama. 

Tiba-tiba, hatinya terasa hangat sekali.

No comments:

Post a Comment