Hujan yang tak putus sepanjang
hari ini di Jakarta membuatmu mengeluh kedinginan. Cuaca tidak akan berubah
bagaimanapun ia dikomentari, jadi lebih baik kita bertukar cerita untuk
menghangatkan hati.
“Ngomong-ngomong, si Kama masih jomblo nggak, ya?”
Ah, tentu saja. Kama, 24 tahun, perempuan muda yang tengah
menanjak karirnya, dan sepertinya mampu melakukan apa saja yang dibutuhkan
untuk bertahan hidup. Ia terlalu tangguh, juga keras kepala, untuk ditaklukkan
cinta. Banyak orang diam-diam bergunjing di belakangnya, berkata bahwa tidak
ada lelaki yang terpikat padanya, karena kehidupan percintaan Kama tak pernah
terdengar detaknya.
Mereka tidak tahu alasannya: Kama tidak percaya cinta. Atau,
yang mungkin lebih tepat, kemampuannya untuk mencintai.
Kama pernah berpacaran beberapa kali semasa sekolah menengah
dan kuliah, tapi jika ia mengingat-ingat lagi saat ini, ia tidak bisa
menjelaskan mengapa ia pernah bisa menjalin hubungan dengan pria-pria itu.
Apa yang membuat seseorang jatuh cinta? Kama tidak pernah
tahu, karenanya ia tidak yakin bahwa ia paham. Saat sekolah menengah, ia jatuh
kagum pada lawan jenis yang dipandangnya menarik secara fisik. Ia akan semakin
terpesona jika lelaki itu cerdas, pandai bicara, dan memiliki banyak kesamaan
dengan dirinya. Menginjak bangku kuliah, fisik menjadi prioritas kedua setelah kecerdasan,
baik itu akademik maupun emosional.
Kama mudah terpikat pada lelaki overachiever, yang tahu apa mereka inginkan dalam hidup dan untuk
apa mereka menginginkannya. Dan cinta, menurut Kama, tidak ada gunanya jika
kedua belah pihak tidak saling menginginkan.
Tapi, rekam jejak asmaranya selama ini selalu berakhir sama.
Ia dan sang lelaki sebenarnya menginginkan hal yang berbeda namun serupa:
sesuatu yang mereka rekam sebagai identitas pasangannya, alih-alih diri mereka yang
sebenar-benarnya. Bagi Kama, itu bukan cinta namanya, tapi hanya tergila-gila,
kalau bukan jatuh kagum semata. Pada akhirnya, kata cinta menjadi sesuatu yang
bersifat basa-basi, hanya demi membuat sebuah ucapan menjadi resiprokal.
Di kemudian hari, hal itulah yang menuntunnya dalam mencari “orang
yang tepat”… untuk dipekerjakan. Ya, pekerjaan Kama di departemen sumber daya
manusia menuntutnya untuk bertemu orang baru dan mengevaluasi apa mereka adalah
orang yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Setiap hari, ia membaca setumpuk
CV, mencari kandidat baru untuk beragam posisi yang kini lowong. Ia menilai
dari apa yang tertulis, sebelum kemudian memanggil mereka untuk menilai dari apa
yang terucap. Terkadang proses pencariannya panjang, belum lagi negosiasi yang
tak jarang berbelit-belit, tapi akan selalu berujung pada kesesuaian.
Ah, andaikan mencari kekasih hati bisa semudah ini.
Tapi, sebagaimana penyelianya pernah berkata, mencari
kandidat pegawai lebih mudah daripada mencari pasangan hidup.
“Cari kandidat itu gampang, karena yang kita inginkan adalah
rekam jejak profesional mereka yang sebisa mungkin tanpa cela, dengan harapan akan
begitu pula hasil kerjanya. Kamu tidak mau punya pasangan hidup profesional,
yang mencintai kamu karena dibayar untuk itu, kan?”
Kama tahu itu, tapi ia tetap saja menggerutu. Kenapa sih
urusan cinta-cintaan ini begitu rumit?
Kama bosan menghadiri pesta pernikahan sendirian. Maka, kali
ini ia memutuskan untuk melewatkan resepsi teman sekelasnya waktu SMA, yang
kini bahkan ia tidak lagi ingat wajahnya, dan mengunjungi pusat perbelanjaan di
selatan ibukota. Di sana, ia tergoda melihat pamflet pertunjukan musik jazz
yang terpajang di sebuah pusat kebudayaan. Kama pun menghampiri seorang lelaki
muda dengan tanda pengenal – jelas dia bekerja di tempat ini – berdiri di depan
pintu masuk.
“Wah, yang tampil malam ini Oran Etkin, ya?” celetuk Kama,
antusias melihat nama salah satu musisi favoritnya.
“Iya,” jawab pria itu ramah. “Ayo, nonton… free entry, kok.”
“This is awesome! Gimana
ceritanya sampai berhasil ngundang dia?”
Dan pembicaraan itu pun mengalir, mulai dari musik Jazz,
Amerika Serikat, dan pengalaman lelaki itu berkuliah di sana. Semakin lama mengobrol
dengannya, semakin Kama tertarik. Pria itu bisa diajak bicara tentang begitu
banyak hal, mulai dari perkembangan musik indie
hingga isu-isu politik luar negeri. Pola pikir dan aspirasinya yang kritis
tercermin dari caranya memperbincangkan tata kelola ibukota, dan bagaimana ia
menceritakan mimpi-mimpinya untuk masa depan. Namun, yang paling membuat Kama
terkesan, pria itu membuatnya begitu nyaman untuk bercerita tentang dirinya. Tiba-tiba, Kama teringat sesuatu.
“How silly of me, we have
been talking for some time but not yet introduced!” Ia mengulurkan
tangannya. “Kama.”
Pria itu membalas sambil tersenyum, “Ganesha.”
Mereka berjabatan tangan.
Dalam sekejap, dengan begitu tak terduga, percikan itu datang
dan menjalar ke seluruh serat tubuh Kama.
Tiba-tiba, hatinya terasa hangat
sekali.
No comments:
Post a Comment