Barusan kau bilang, kau rindu masa lalumu. Menjadi anak sekolah rasanya
begitu mudah, dan tanggung jawab yang kau punya sebatas menyelesaikan pekerjaan
rumah tepat waktu. Di saat bersamaan, mereka yang lebih muda tak sabar berada di
posisimu. Sonya adalah salah satu dari sekian banyak yang begitu.
“Hidup baru dimulai ketika skripsi selesai,” begitu kata banyak kakak
kelasnya. Sonya memercayainya, namun dulu sulit baginya untuk memahami
pernyataan itu. Ia akan berusia dua puluh empat
tahun pekan depan, tak peduli skripsinya masih belum rampung hingga
sekarang.
Sonya adalah mahasiswa tingkat akhir, dengan perpanjangan waktu.
Teman-teman seangkatannya sudah menamatkan kuliah sejak dua tahun lalu.
Sebelumnya, Sonya tak begitu peduli soal tidak lulus tepat waktu. Memang
pilihannya untuk memertahankan status mahasiswa lebih lama, demi dapat
menikmati lebih banyak kegiatan khusus pelajar dan pemuda. Dengan menjadi
entitas sebuah institusi pendidikan, peluangnya mendapat bantuan dana dari pihak
ketiga untuk mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler pun menjadi lebih
besar. Maklum, ayahnya hampir tak pernah merestui kegiatannya di luar kuliah,
karena dianggapnya hanya membuang-buang waktu.
Namun, kini Sonya mulai jemu, dan iri pada teman-temannya yang sudah
bisa mencari penghidupan sendiri. Saat berulang tahun ke-23 tahun lalu, Sonya berkontemplasi
panjang lebar akan apa yang ia inginkan untuk masa depannya. Kesimpulannya
satu: ia harus lulus kuliah dulu, segera.
Setiap orang punya beban tersendiri dalam hidupnya. Mungkin karena
itulah Plato berkata, bersikap baiklah pada semua orang yang kau temui, karena setiap
dari mereka tengah berjuang dalam medannya sendiri. Begitu pula Sonya.
Tak banyak yang tahu, bahwa Sonya adalah putri semata wayang seorang
pengusaha es krim rumahan. Di kota tempatnya berasal, citarasa pencuci mulut
buatan keluarganya sudah familiar di lidah hampir semua orang. Toko Wien, yang
menjual minuman dan penganan ringan namun populer karena es kopyornya, diwarisi
sang ayah dari orangtuanya, yang memulai bisnis itu di tahun 1950-an. Selain dapat
dinikmati di toko, es krim buatan keluarganya juga dijajakan keliling dengan
sepeda setiap siang hingga sore hari.
Sebagai satu-satunya pewaris generasi ketiga, Sonya mulai merasakan
beban tanggung jawab untuk meneruskan bisnis keluarga sejak ia masuk SMA.
Desakan itu semakin kuat menjelang ia lulus, saat hampir semua anggota keluarga
mendorongnya untuk masuk fakultas ekonomi. Padahal, Sonya benci berhitung, dan
lebih senang menulis. Setelah pertengkaran-pertengkaran alot dengan sang ayah, akhirnya
tercapailah sebuah persetujuan: Sonya akan kuliah komunikasi bisnis, dan
setelah lulus, ia akan mendampingi sang ayah untuk mengurus bisnis keluarga.
Ayahnya baru akan pensiun begitu Sonya dirasa telah siap.
Di lain pihak, Sonya hampir yakin ia tak akan pernah siap untuk membuat
bisnis keluarga itu tetap berdetak. Ia merasa nasibnya tak jauh beda dengan Mia
Thermopolis, sang pewaris tahta kerajaan Genovia di serial The Princess Diaries.
Sesungguhnya, Sonya bukan tidak suka berjualan es krim. Justru, Toko
Wien adalah tempat favoritnya sejak kecil. Ia hanya takut. Toko Wien sudah
bertahan selama dua generasi, bagaimana jika justru di tangannya usaha itu
mati?
Mungkin, karena itu pula, Sonya jadi banyak menunda-nunda, sehingga
kuliahnya hingga sekarang belum tamat juga.
“Masalahnya bukan kamu mampu atau tidak, tapi kamu mau atau tidak?”
begitu kata ayahnya liburan akhir semester lalu. Saat itu, Sonya kembali
berkata bahwa ia baru akan mendedikasikan waktunya di Toko Wien setelah
kuliahnya selesai, karena ia tidak bisa menjalankan bisnis sambil mengerjakan
skripsi, membuat ayahnya marah sekali. Tak lama setelah pertengkaran itu, ayah
Sonya terkena stroke.
Sonya ada di samping tempat tidur rumah sakit ketika ayahnya sadar. Saat
itu, pertanyaan pertama sang ayah adalah, “Bagaimana skripsi kamu?” dan Sonya
hanya dapat memjawabnya dengan senyum hampa.
Tiga bulan sudah berlalu sejak saat itu. Ayah Sonya sudah mulai pulih,
setelah sebelumnya lumpuh separuh badan. Begitu ayahnya dirawat di rumah sakit,
Sonya berinisiatif mengambil kendali Toko Wien yang dipegang ayahnya, dengan
didampingi asisten kepercayaan sang ayah yang mengurusi perihal operasional.
Hari-hari yang kemudian dilaluinya mengingatkan Sonya pada kerja magang,
di mana ia belajar lewat tindakan nyata, namun kali ini dengan memanggul
tanggungjawab yang besarnya tak main-main. Kadang harinya tidak berjalan mulus,
namun Sonya tak pernah tidak pulang dari toko dengan senyum lega. Satu hari
lagi berlalu, dan aku masih bertahan. Besok aku pasti bisa melakukannya lagi.
Ia lalu akan menghabiskan malam dengan mengerjakan skripsi hingga dini hari.
Tak peduli betapa menyenangkannya menjadi mahasiswa, Sonya sadar bahwa
setiap hal punya masa kedaluarsa. Sesuatu yang sudah dimulai harus dikerjakan
sampai selesai, begitu ayahnya selalu berkata, dan prosesnya adalah sebuah
perjuangan yang harus dimenangkan.
Hampir enam tahun sudah dihabiskannya untuk sembunyi dari Toko Wien yang
menanti untuk diwarisi. Kini, saat tiba di sana setiap pagi, Sonya seolah
diingatkan kembali akan hidup barunya yang telah menanti.
Ia melirik jam dinding di atas meja belajarnya. Hari sudah berganti. Ini hari Jumat, pukul tiga pagi, dan ia
masih larut dalam revisi skripsi.
Sebentar lagi, gumam Sonya, tersenyum dalam hati.
No comments:
Post a Comment