Pages

Saturday, January 12, 2013

Hari 6: Merindu Rubi

Aku tak ingin bercerita untukmu hari ini. Tidakkah kamu bosan mendengar kisah-kisah tentang orang lain, dan tergoda untuk membicarakan dirimu sendiri?

Kau tersenyum. Apa yang kau ingin tahu?

Entahlah. Apa pun. Berceritalah padaku, berceritalah untukku, tentang hidupmu. Ayolah, ini malam Minggu dan kita punya waktu semalam suntuk.

Aku rindu Rubi, katamu mendadak. Aku terkejut bukan main. Rubi? Yang benar saja!

Rubi adalah teman mainmu semasa sekolah. Kalian begitu dekat saat itu, seolah sudah seperti saudara sekandung yang tak terpisahkan. Dengan cerita masa lalu yang nyaris serupa, tak heran kau dan Rubi menjadi akrab sangat cepat. Namun, begitu ia meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan kuliah di Australia, kalian menjauh satu sama lain, dan akhirnya kini kalian seperti tidak pernah saling mengenal.

Diam-diam aku cemburu. 

Sejak dulu, aku tak pernah merasa Rubi adalah teman yang baik untukmu. Aku ingat betapa kau dibuat patah hati karena ia membiarkan teleponnya begitu saja, meninggalkanmu tanpa suara ketika kau menghubunginya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Saat itu, kau begitu merana, dan tak henti bertanya, sebenarnya salahku apa?

Aku memberanikan diri bertanya, mengapa begitu tiba-tiba?

“Aku blogwalking semalam, lalu menemukan blognya. Di sana ada tautan ke profil Flickr-nya, jadi kubuka saja.”

Lalu, ada apa di situ? 

Kusodorkan komputer tabletku, membiarkanmu mengakses mesin pencari untuk menemukan apa yang barusan kau bicarakan. Ketika laman itu sudah terbuka penuh, aku tidak bisa tidak tertawa.
Layar itu penuh dengan foto-foto yang memiliki satu kesamaan: sosok seorang perempuan, dengan latar belakang pemandangan asing, dan tata cahaya artifisial yang kentara. Penasaran, aku memilih salah satu foto untuk dibuka di jendela baru. Aku menemukan tulisan yang lumayan panjang di bawahnya. Rupanya, alih-alih memberi caption untuk fotonya, Rubi memutuskan menggunakan gambar jepretannya itu untuk menjadi ilustrasi sebuah cerita.

“Ini cuma pendapatku saja, atau memang pemilik profil ini adalah remaja putri berusia lima belas tahun?” Mendengar itu, kau tak bisa menahan tawa.

Maksudku, lihat saja foto-foto ini. Meskipun enak dipandang, tak bisa dipungkiri bahwa foto-foto ini sudah melalui proses penyuntingan di sana-sini, membuatku skeptis bahwa hasil foto aslinya lebih bagus dari apa yang dipajang untuk umum. Belum lagi tulisan-tulisannya, yang temanya tak jauh dari betapa dunia tidak memahaminya dan cinta begitu enggan menghampirinya, dalam bahasa berbunga-bunga khas anak muda yang baru kenal dunia. Dan, orang yang memproduksi ini semua adalah orang yang sebelumnya menyebut diri sahabatmu, lalu kemudian membuangmu begitu saja entah kenapa. 

Yang benar saja, kau merindukan orang semacam ini?

“Aku tidak merindukan dia, dalam arti aku ingin bertemu dengannya sekarang dan mendengar kisah hidupnya,” sahutmu, seolah membaca pikiranku. “Aku tidak kenal siapa dia saat ini. Aku rindu Rubi yang kukenal di masa lalu, dan saat-saat yang pernah jadi milik kami.”

Kita berdua menghabiskan dini hari mengomentari foto-foto dan tulisan-tulisan di akun Flickr Rubi, satu demi satu. Kita menertawakan Rubi, menertawakan masa lalu, menertawakan diri sendiri yang terdampar dalam nostalgia.

Mengapa kita melakukan ini? 

Mengapa seseorang melakukan sesuatu? Jim Moriarty bilang, itu karena mereka bosan. Kurasa memang demikian. Kini pun kita membicarakan orang lain, bisa jadi karena membicarakan diri sendiri sepanjang waktu sungguhlah membosankan.

“Masih rindu Rubi?”

Kau menggeleng mantap.

“Kalau jodohku dengan dia sudah habis, biar saja. Dunia tak habis dijelajahi seumur hidup, maka begitu juga kesempatan untuk bertemu orang baru dan bertukar cerita dengan mereka. Kelak menjadi teman atau tidak, untuk waktu yang lama atau tidak, tidak ada yang tahu, tapi bukankah justru ketidakpastian yang membuat hidup jadi penuh kejutan?”

No comments:

Post a Comment