Aku tak ingin bercerita
untukmu hari ini. Tidakkah kamu bosan mendengar kisah-kisah tentang orang lain,
dan tergoda untuk membicarakan dirimu sendiri?
Kau tersenyum. Apa yang kau
ingin tahu?
Entahlah. Apa pun.
Berceritalah padaku, berceritalah untukku, tentang hidupmu. Ayolah, ini malam
Minggu dan kita punya waktu semalam suntuk.
Aku rindu Rubi, katamu
mendadak. Aku terkejut bukan main. Rubi? Yang benar saja!
Rubi adalah teman mainmu
semasa sekolah. Kalian begitu dekat saat itu, seolah sudah seperti saudara
sekandung yang tak terpisahkan. Dengan cerita masa lalu yang nyaris serupa, tak
heran kau dan Rubi menjadi akrab sangat cepat. Namun, begitu ia meninggalkan
Indonesia untuk melanjutkan kuliah di Australia, kalian menjauh satu sama lain,
dan akhirnya kini kalian seperti tidak pernah saling mengenal.
Diam-diam aku cemburu.
Sejak dulu, aku tak pernah
merasa Rubi adalah teman yang baik untukmu. Aku ingat betapa kau dibuat patah
hati karena ia membiarkan teleponnya begitu saja, meninggalkanmu tanpa suara
ketika kau menghubunginya untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Saat itu, kau
begitu merana, dan tak henti bertanya, sebenarnya salahku apa?
Aku memberanikan diri
bertanya, mengapa begitu tiba-tiba?
“Aku blogwalking semalam,
lalu menemukan blognya. Di sana ada tautan ke profil Flickr-nya, jadi kubuka
saja.”
Lalu, ada apa di situ?
Kusodorkan komputer
tabletku, membiarkanmu mengakses mesin pencari untuk menemukan apa yang barusan
kau bicarakan. Ketika laman itu sudah terbuka penuh, aku tidak bisa tidak
tertawa.
Layar itu penuh dengan
foto-foto yang memiliki satu kesamaan: sosok seorang perempuan, dengan latar
belakang pemandangan asing, dan tata cahaya artifisial yang kentara. Penasaran,
aku memilih salah satu foto untuk dibuka di jendela baru. Aku menemukan tulisan
yang lumayan panjang di bawahnya. Rupanya, alih-alih memberi caption untuk
fotonya, Rubi memutuskan menggunakan gambar jepretannya itu untuk menjadi ilustrasi
sebuah cerita.
“Ini cuma pendapatku saja,
atau memang pemilik profil ini adalah remaja putri berusia lima belas tahun?”
Mendengar itu, kau tak bisa menahan tawa.
Maksudku, lihat saja
foto-foto ini. Meskipun enak dipandang, tak bisa dipungkiri bahwa foto-foto ini
sudah melalui proses penyuntingan di sana-sini, membuatku skeptis bahwa hasil
foto aslinya lebih bagus dari apa yang dipajang untuk umum. Belum lagi
tulisan-tulisannya, yang temanya tak jauh dari betapa dunia tidak memahaminya
dan cinta begitu enggan menghampirinya, dalam bahasa berbunga-bunga khas anak
muda yang baru kenal dunia. Dan, orang yang memproduksi ini semua adalah orang
yang sebelumnya menyebut diri sahabatmu, lalu kemudian membuangmu begitu saja
entah kenapa.
Yang benar saja, kau merindukan orang semacam ini?
“Aku tidak merindukan dia,
dalam arti aku ingin bertemu dengannya sekarang dan mendengar kisah hidupnya,”
sahutmu, seolah membaca pikiranku. “Aku tidak kenal siapa dia saat ini. Aku rindu
Rubi yang kukenal di masa lalu, dan saat-saat yang pernah jadi milik kami.”
Kita berdua menghabiskan
dini hari mengomentari foto-foto dan tulisan-tulisan di akun Flickr Rubi, satu
demi satu. Kita menertawakan Rubi, menertawakan masa lalu, menertawakan diri
sendiri yang terdampar dalam nostalgia.
Mengapa kita melakukan ini?
Mengapa seseorang melakukan
sesuatu? Jim Moriarty bilang, itu karena mereka bosan. Kurasa memang demikian.
Kini pun kita membicarakan orang lain, bisa jadi karena membicarakan diri
sendiri sepanjang waktu sungguhlah membosankan.
“Masih rindu Rubi?”
Kau menggeleng mantap.
“Kalau jodohku dengan dia
sudah habis, biar saja. Dunia tak habis dijelajahi seumur hidup, maka begitu
juga kesempatan untuk bertemu orang baru dan bertukar cerita dengan mereka.
Kelak menjadi teman atau tidak, untuk waktu yang lama atau tidak, tidak ada
yang tahu, tapi bukankah justru ketidakpastian yang membuat hidup jadi penuh
kejutan?”
No comments:
Post a Comment