Aku heran pada rasa penasaranmu, yang seolah tak pernah
bosan mencari tahu. Tapi, aku sudah berjanji akan bercerita untukmu, sehari
satu.
Renjani adalah gadis pemimpi. Seperti lagu tema serial
kartun Doraemon, ia ingin ini ingin itu banyak sekali. Awal tahun lalu, ia
menamatkan kuliahnya di Fakultas Ilmu Komunikasi. Tak lama kemudian, setelah
mendapatkan pekerjaan impiannya, ia meninggalkan Kabupaten Sumedang dan pindah
ke Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan senang hati.
Kau bertemu Renjani lewat seorang teman. Determinasi dan
ambisinya untuk meraih cita-cita membuatmu terkesan. Mengobrol dengannya selalu
mencerahkan. Namun, akhir-akhir ini Renjani lebih sering mengisahkan gundah
gulananya, membuatmu nyaris mati bosan.
Kau tahu bahwa saat ini Renjani tengah bimbang. Ia khawatir
takkan mampu bertahan lama di pekerjaannya sekarang karena kualifikasi
pendidikan yang sebenarnya kurang. Baru-baru ini, sebuah panggilan wawancara
kerja datang. Renjani mengirimkan lamaran ke perusahaan pertambangan itu hampir
setahun yang lalu, untuk sebuah posisi yang sebetulnya tidak begitu ia inginkan,
dan justru karena itulah kini ia merasa begitu malang. Lain halnya dengan
pekerjaannya saat ini, posisi tersebut menjanjikan karir jangka panjang. Itulah
mengapa Renjani lantas mengeluh, mengapa harus sekarang?
Kadang kau heran, mengapa karir bagi Renjani menjadi sesuatu yang pentingnya tak terkira. Tentu, seseorang perlu bekerja untuk bisa menafkahi diri,
dan di kemudian hari, juga keluarganya. Tapi, Renjani bekerja seolah-olah di sanalah hidupnya.
Ini karena kau tidak tahu sesuatu: Renjani sudah lelah menghabiskan
umur dengan mengutamakan orang selain dirinya. Saat ini, yang ia inginkan
adalah mencapai impian-impiannya yang selama ini, dengan berbagai alasan,
terpaksa tertunda. Ia tidak ingin orang lain menghalangi jalan menuju kebahagiaannya.
Saat Renjani berusia tujuh tahun, ibunya meminta cerai
begitu tahu sang suami dan sahabatnya menikah siri. Permintaan itu ditolak,
membuat sang ibu putus asa dan kemudian bunuh diri. Renjani dan adiknya, yang
saat itu berusia empat tahun, akhirnya diasuh oleh sang kakek yang bertangan
besi. Sepeninggal sang kakek lima tahun kemudian, pengasuhan Renjani dan
adiknya berpindah-pindah dari paman yang satu ke bibi yang lain, yang berarti
ia harus mendahulukan kepentingan banyak orang sebelum bisa meminta sesuatu
untuk dirinya sendiri.
Sampai usia sembilan belas tahun, Renjani tidak punya kamar
sendiri. Sekarang, kamar sewaannya terasa bagaikan surga pribadi. Sampai lulus
kuliah, hidupnya masih bergantung pada kemurahan hati sanak famili. Kini,
setelah punya pekerjaan purnawaktu, uang yang ada di tangannya bisa bebas ia
belanjakan sesuka hati. Tidak ada lagi jam malam yang kadang membuatnya
terdampar di luar pagar sampai dini hari, karena kini ia punya kunci pintu
pagar dan kamar untuknya sendiri.
Saat ini, Renjani tengah menjalani hidup yang selama ini ia
impikan. Masih banyak hal lain dalam daftar keinginannya menanti untuk diwujudkan. Kebebasan yang baru diraihnya akan ia pertahankan mati-matian.
“Sekarang ini kita berada di periode usia yang rumit,” kata
Renjani suatu kali. “Mimpi-mimpi masa kecil kita mulai terwujud, dan di saat
yang sama kita menyadari bahwa hal itu juga menuntut tanggung jawab dan kerja
nyata yang terus-menerus, kalau kita memang ingin tetap memilikinya. Belum lagi
kalau kita masih meraba-raba ke mana arah mimpi itu, dan masih sering
tersangkut di pertanyaan, ‘what will
become of me?’. Tak heran ada istilah quarter-life
crisis, kalau begini keadaannya…”
Awalnya, kau tidak yakin apakah Renjani mengalami krisis
yang dibicarakannya itu, karena ia tampak selalu begitu yakin akan apa yang ia
inginkan dalam hidupnya. Namun, sebagaimana akan kau pahami, krisis adalah
bagian dari hidup manusia, terlepas dari kapan terjadinya dan apa penyebabnya.
Hari ini genap seperempat abad usia Renjani. Kau berpapasan
dengannya saat hendak berangkat ke kantor tadi pagi. Ia keluar dari rumah kostnya
dengan tas gunung di punggung, dan senyum di wajah, membuatmu bertanya-tanya
dalam hati. Kau terlalu penasaran untuk tak bertanya ke mana ia akan pergi.
“Aku mau keliling dunia,” jawabnya. Renjani lalu
menceritakan rencana perjalanannya. Ia akan menyusuri barat pulau Jawa, menyeberang
ke Sumatera, lalu ke Singapura lewat Batam, untuk kemudian menjelajahi Asia
Tenggara, dan terus ke utara. “Kalau lancar, aku akan sampai di Eropa
pertengahan Juni, ketika cuaca sudah mulai hangat.”
“Tapi… kenapa?”
“Daripada pasrah pada ketidakpastian, aku lebih memilih
menaklukkannya, di luar belantara hutan beton. Aku lelah kebanyakan
memperhitungkan kemungkinan, dan ingin menyenangkan diri sendiri sepuas-puasnya
dulu sekarang. Dan entah kenapa… aku yakin ini akan membantu memahami, dengan
cara apa aku bisa jadi berguna bagi semesta.”
No comments:
Post a Comment