Kau pernah bilang, kau tak pernah mengerti mengapa perempuan
begitu senang merias diri. Jika memang menarik dari dalam diri, mereka tak
perlu khawatir dengan penampilan duniawi. Maka, kurasa kau perlu mendengar
cerita tentang Kalyani.
Tahun lalu, Kalyani berangkat ke Korea Selatan untuk kuliah
pascasarjana. Begitu ia kembali, kau menyadari ada perubahan drastis dalam
penampilannya. Rok dan terusan menggantikan celana jins panjang belelnya. Rambut
sebahunya yang biasa diikat ekor kuda kini digerai rapi dan tertata. Bibir dan
pipinya kini tak pernah sepi dari pulasan warna. Saat kau melihat lebih dekat,
matanya dibingkai garis serupa mata kucing dan bulu matanya dilapisi maskara.
“Tumben dandan,” tanyamu pada Kalyani saat bertemu dengannya
beberapa hari yang lalu.
“Iya, jadi kebiasaan sejak di Seoul, soalnya anak-anak di
kampus semuanya begitu. Datang kuliah tanpa make-up itu serasa ga pakai baju,”
jawabnya ringan.
Dan begitulah akhirnya. Kau menganggap Kalyani menyerah pada
prinsipnya untuk mengutamakan kecantikan dalam diri lewat kecerdasan
intelektual dan emosional. Sementara itu, Kalyani menilaimu terlalu serius dan
kaku dalam menghadapi perubahan gayanya. Kalian pun sejak itu berhenti saling
menghubungi.
Biar kuberitahu awal perkenalan Kalyani dengan kosmetik di
negeri ginseng.
Di hari pertama kuliah, Kalyani seolah mengalami gegar
budaya begitu melihat semua teman sekelasnya berdandan lengkap. Ia pun menoleh
dan bertanya pada seorang gadis Korea di sampingnya.
“Girls here get their
confidence from little boxes and sticks people call cosmetics. You can never
know how divine they can be, but once you have them on your face, you can tell,”
jawabnya.
Yun, begitu nama gadis itu, tak butuh waktu lama untuk
menjadi sahabat baru Kalyani. Setelah kelas mereka berakhir hari itu, Yun
mengajak Kalyani ke kamar asramanya untuk didandani.
Setibanya di sana, Kalyani terkesima melihat koleksi
kosmetik dan produk perawatan kulit Yun. Di sanalah ia berkenalan dengan make-up base, BB cream, primer, dan pelentik
bulu mata elektrik. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan wajahnya disentuh kuas
yang melapisi wajahnya dengan alas bedak dan mewarnai bibir, pipi, dan matanya,
ketika tidak ada upacara adat atau resepsi pernikahan. Dan Kalyani tidak bisa
tidak terpana.
Sejak itu, Kalyani seperti punya hobi baru. Bersama Yun, ia
menjelajahi penjuru kota Seoul, mengunjungi satu konter kosmetik ke konter
produk perawatan kulit yang lain, mencoba berbagai varian dan mengumpulkan
sebanyak mungkin sampel. Kalyani juga jadi betah lama-lama berselancar di
internet untuk menonton berbagai macam tutorial rias wajah dan mengunjungi
blog-blog kecantikan. Dari ulasan-ulasan yang dibacanya, ia memilih dan
menentukan pembersih wajah yang paling sesuai dengan jenis kulitnya, perona
mata yang paling tahan lama, dan kuas rias yangtidak cepat rontok bulunya.
Tidak, bantah Kalyani, ini bukan hobi. Ini pelajaran baru,
dan ia tengah mendidik dirinya sendiri. Tiba-tiba ia berpikir, ke mana saja dia
selama ini?
Selama ini, ia diam-diam meremehkan perempuan yang berdandan,
menganggap bahwa mereka sibuk merias diri karena kecantikan yang hanya sebatas
muka. Tanpa niatan memahami mereka yang ada di sisi berseberangan, ia duduk
manis di sudut nyamannya, dan sesekali melempar komentar sinis.
Selain merias wajahnya, Kalyani merasa perlu
mendokumentasikan transformasi pandangannya tentang kemolekan fisik. Untuk itulah,
ia membuat serangkaian tulisan tentang ritual kecantikannya, yang kemudian ia
pajang di blog pribadi. Ia bercerita tentang caranya merawat rambut dan tubuh, ritualnya
membersihkan wajah di awal dan akhir hari, dan mengulas produk-produk kecantikan
yang pernah dan tengah dicobanya. Dalam tulisan terakhirnya, ia menegaskan
pentingnya menghapus rias wajah sebelum tidur, dan bagaimana berdandan justru
membuatnya lebih telaten merawat kulit muka yang sudah seharian ditimpa
kosmetik.
Kalyani memang sedang senang-senangnya, dan ia begitu antusias
untuk berbagi. Lewat kotak ajaib kecil berupa palet perona mata, bibir, dan pipi,
Kalyani kembali menemukan kesenangan masa kecilnya. Mengenakan lipstik merah
dan sepatu hak tinggi hitam milik ibunya adalah kegemaran Kalyani saat itu. Ia lalu
akan keluar dari kamar orangtuanya, berkata, “Ibu, ayo kita ke kantor!”, dan sang
ibu akan tersenyum melihat tingkahnya.
Namun, cerita yang ini bukan untuk dikonsumsi pembaca
blognya.
Kalyani tidak pernah melihat ibunya berdandan lagi sejak
lima belas tahun yang lalu. Tahun itu ia lulus SD, dan ibunya menikah lagi tak
lama setelah ayahnya bunuh diri. Suami baru sang ibu melarangnya bekerja, dan
menyuruh beliau tinggal di rumah saja. Rias wajah bahkan menjadi sesuatu yang
haram di rumah baru Kalyani, karena dianggap sebagai alat perempuan untuk
menggoda laki-laki.
Tidak semua perempuan mendapatkan
kesenangan yang sama lewat berdandan, tulis Kalyani, namun bagi saya, merias wajah adalah penting untuk menampilkan diri
saya dalam versi yang lebih baik dari segi fisik, sebagai bentuk upaya menghargai
diri sendiri dan orang lain yang saya temui. Toh, saya percaya bahwa riasan seharusnya
membuat wajah seorang perempuan terlihat kelebihannya dan tersembunyi
kekurangannya, dan bukannya tampak sama seperti semua perempuan lainnya di
dunia.
Rias wajah hanya salah
satu dari banyak jalan yang dapat ditempuh seorang perempuan untuk merasa
nyaman dengan tubuhnya sendiri. Jalan yang Anda pilih mungkin berbeda, karena bisa
jadi kepercayaan diri Anda bersumber dari kotak ajaib kecil yang lainnya. Tak jadi
soal, dan tak perlu jadi soal.
Kalyani menggerakkan kursornya ke tombol “Publish”, berharap
kamu membacanya suatu saat.
No comments:
Post a Comment