Pages

Tuesday, January 15, 2013

Hari 9: Riasan Kalyani

Kau pernah bilang, kau tak pernah mengerti mengapa perempuan begitu senang merias diri. Jika memang menarik dari dalam diri, mereka tak perlu khawatir dengan penampilan duniawi. Maka, kurasa kau perlu mendengar cerita tentang Kalyani.

Tahun lalu, Kalyani berangkat ke Korea Selatan untuk kuliah pascasarjana. Begitu ia kembali, kau menyadari ada perubahan drastis dalam penampilannya. Rok dan terusan menggantikan celana jins panjang belelnya. Rambut sebahunya yang biasa diikat ekor kuda kini digerai rapi dan tertata. Bibir dan pipinya kini tak pernah sepi dari pulasan warna. Saat kau melihat lebih dekat, matanya dibingkai garis serupa mata kucing dan bulu matanya dilapisi maskara.

“Tumben dandan,” tanyamu pada Kalyani saat bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.

“Iya, jadi kebiasaan sejak di Seoul, soalnya anak-anak di kampus semuanya begitu. Datang kuliah tanpa make-up itu serasa ga pakai baju,” jawabnya ringan.

Dan begitulah akhirnya. Kau menganggap Kalyani menyerah pada prinsipnya untuk mengutamakan kecantikan dalam diri lewat kecerdasan intelektual dan emosional. Sementara itu, Kalyani menilaimu terlalu serius dan kaku dalam menghadapi perubahan gayanya. Kalian pun sejak itu berhenti saling menghubungi.

Biar kuberitahu awal perkenalan Kalyani dengan kosmetik di negeri ginseng.

Di hari pertama kuliah, Kalyani seolah mengalami gegar budaya begitu melihat semua teman sekelasnya berdandan lengkap. Ia pun menoleh dan bertanya pada seorang gadis Korea di sampingnya.

“Girls here get their confidence from little boxes and sticks people call cosmetics. You can never know how divine they can be, but once you have them on your face, you can tell,” jawabnya.

Yun, begitu nama gadis itu, tak butuh waktu lama untuk menjadi sahabat baru Kalyani. Setelah kelas mereka berakhir hari itu, Yun mengajak Kalyani ke kamar asramanya untuk didandani. 

Setibanya di sana, Kalyani terkesima melihat koleksi kosmetik dan produk perawatan kulit Yun. Di sanalah ia berkenalan dengan make-up base, BB cream, primer, dan pelentik bulu mata elektrik. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan wajahnya disentuh kuas yang melapisi wajahnya dengan alas bedak dan mewarnai bibir, pipi, dan matanya, ketika tidak ada upacara adat atau resepsi pernikahan. Dan Kalyani tidak bisa tidak terpana.

Sejak itu, Kalyani seperti punya hobi baru. Bersama Yun, ia menjelajahi penjuru kota Seoul, mengunjungi satu konter kosmetik ke konter produk perawatan kulit yang lain, mencoba berbagai varian dan mengumpulkan sebanyak mungkin sampel. Kalyani juga jadi betah lama-lama berselancar di internet untuk menonton berbagai macam tutorial rias wajah dan mengunjungi blog-blog kecantikan. Dari ulasan-ulasan yang dibacanya, ia memilih dan menentukan pembersih wajah yang paling sesuai dengan jenis kulitnya, perona mata yang paling tahan lama, dan kuas rias yangtidak cepat rontok bulunya.

Tidak, bantah Kalyani, ini bukan hobi. Ini pelajaran baru, dan ia tengah mendidik dirinya sendiri. Tiba-tiba ia berpikir, ke mana saja dia selama ini?

Selama ini, ia diam-diam meremehkan perempuan yang berdandan, menganggap bahwa mereka sibuk merias diri karena kecantikan yang hanya sebatas muka. Tanpa niatan memahami mereka yang ada di sisi berseberangan, ia duduk manis di sudut nyamannya, dan sesekali melempar komentar sinis.

Selain merias wajahnya, Kalyani merasa perlu mendokumentasikan transformasi pandangannya tentang kemolekan fisik. Untuk itulah, ia membuat serangkaian tulisan tentang ritual kecantikannya, yang kemudian ia pajang di blog pribadi. Ia bercerita tentang caranya merawat rambut dan tubuh, ritualnya membersihkan wajah di awal dan akhir hari, dan mengulas produk-produk kecantikan yang pernah dan tengah dicobanya. Dalam tulisan terakhirnya, ia menegaskan pentingnya menghapus rias wajah sebelum tidur, dan bagaimana berdandan justru membuatnya lebih telaten merawat kulit muka yang sudah seharian ditimpa kosmetik.

Kalyani memang sedang senang-senangnya, dan ia begitu antusias untuk berbagi. Lewat kotak ajaib kecil berupa palet perona mata, bibir, dan pipi, Kalyani kembali menemukan kesenangan masa kecilnya. Mengenakan lipstik merah dan sepatu hak tinggi hitam milik ibunya adalah kegemaran Kalyani saat itu. Ia lalu akan keluar dari kamar orangtuanya, berkata, “Ibu, ayo kita ke kantor!”, dan sang ibu akan tersenyum melihat tingkahnya.

Namun, cerita yang ini bukan untuk dikonsumsi pembaca blognya.

Kalyani tidak pernah melihat ibunya berdandan lagi sejak lima belas tahun yang lalu. Tahun itu ia lulus SD, dan ibunya menikah lagi tak lama setelah ayahnya bunuh diri. Suami baru sang ibu melarangnya bekerja, dan menyuruh beliau tinggal di rumah saja. Rias wajah bahkan menjadi sesuatu yang haram di rumah baru Kalyani, karena dianggap sebagai alat perempuan untuk menggoda laki-laki.

Tidak semua perempuan mendapatkan kesenangan yang sama lewat berdandan, tulis Kalyani, namun bagi saya, merias wajah adalah penting untuk menampilkan diri saya dalam versi yang lebih baik dari segi fisik, sebagai bentuk upaya menghargai diri sendiri dan orang lain yang saya temui. Toh, saya percaya bahwa riasan seharusnya membuat wajah seorang perempuan terlihat kelebihannya dan tersembunyi kekurangannya, dan bukannya tampak sama seperti semua perempuan lainnya di dunia.

Rias wajah hanya salah satu dari banyak jalan yang dapat ditempuh seorang perempuan untuk merasa nyaman dengan tubuhnya sendiri. Jalan yang Anda pilih mungkin berbeda, karena bisa jadi kepercayaan diri Anda bersumber dari kotak ajaib kecil yang lainnya. Tak jadi soal, dan tak perlu jadi soal.

Kalyani menggerakkan kursornya ke tombol “Publish”, berharap kamu membacanya suatu saat.

No comments:

Post a Comment