Kisah nyata seolah memiliki daya tarik tersendiri bagi
khalayak, saat mereka menikmatinya lewat tulisan atau gambar bergerak. Tak hanya
buku atau film yang laris di pasaran memiliki keterangan “based on true story”, televisi pun tak luput dari tayangan semacam
ini.
Menurut Charles B. Slocum dari Writers Guild of America,
West, reality show sudah tampil di
layar kaca sejak Alan Funt menghadirkan serial televisi Candid Camera pada
1948. Sejak saat itu, tayangan jenis ini berkembang pesat dalam berbagai
format, salah satunya adalah menyediakan sebuah lingkungan di mana “realitas”
diciptakan. Dalam film, reality show jenis ini disajikan dengan memukau dalam
The Truman Show (1998).
Film yang disutradarai Peter Weir (Dead Poets Society, Master
and Commander: The Far Side of the World) ini mengisahkan tentang Truman
Burbank (Jim Carrey), yang setiap detik hidupnya terdokumentasikan dalam sebuah
tayangan televisi yang disiarkan 24 jam sehari ke seluruh dunia. Dunianya
bernama Seahaven, sebuah kota yang direkayasa dalam studio superbesar di
Hollywood. Semua aspek hidup Truman, mulai dari keluarga hingga cuaca, berada
dalam kendali sang produser eksekutif Chistof (Ed Harris), untuk merekam langsung
segala reaksi manusiawinya ketika berada dalam situasi tertentu. Hal ini
berlangsung selama 30 tahun masa hidup Truman, dan ia sama sekali tidak
tahu-menahu.
Menyaksikan film ini di tahun 2013, The Truman Show seolah
bukan fiksi. Dengan begitu maraknya reality show di layar kaca setidaknya
sepuluh tahun belakangan ini, kehidupan “orang biasa” punya nuansa yang tak
kalah menarik untuk disaksikan. Menjadi terkenal pun bukan lagi mimpi, asal
seseorang bisa ikut serta dalam ajang pencarian, mulai dari bakat hingga jodoh,
untuk kemudian ditayangkan di televisi. Hari ini, apa yang penonton saksikan di
The Truman Show bisa benar-benar dilihat di televisi, setidaknya secara garis
besar. Belum lagi kalau tayangannya diperpanjang, musim demi musim.
Lewat reality show, banyak orang berhasil memeroleh popularitas
sekejap, atau dalam istilah Andy Warhol, the
fifteen minutes of fame. Bedanya, orang-orang yang ada di dalam reality
show sadar akan keterlibatan mereka dalam realitas yang dipentaskan. Jika Kim
Kardashian dengan sadar “menikah” dengan Kris Humphrey demi publisitas, Truman tidak
tahu bahwa ada lebih dari lima ribu kamera tersembunyi mengawasi
gerak-geriknya, dan semua orang yang ditemuinya adalah artis yang dibayar. Sepengetahuan
Truman, hidupnya adalah normal, dan tidak menuai popularitas internasional.
Kenyataan sering dilabeli “pahit” atau “menyakitkan”, namun
dalam dunia Truman, kenyataan hadir bagaikan dibalut gula. Christof punya
pembenarannya sendiri atas hal ini, saat dikonfrontasi oleh Sylvia, seorang
mantan figuran The Truman Show yang sempat menarik perhatian “sang bintang”
sebelum kemudian disingkirkan.
“I have given the chance for Truman to lead a normal life.
The world, the place you live in, is the sick place. Seahaven is the way the
world should be.”
Tapi, sungguhkah Seahaven, dunia di mana sang pencipta
adalah pembuat acara televisi, adalah bagaimana dunia sebagaimana mestinya? Toh,
akhirnya Christof membantah kata-katanya sendiri.
“There is no more truth out there than there is in the world
I created for you. The same lies, the same deceit. But in my world, you have
nothing to fear,” tuturnya. Untuk itulah, Christof senantiasa berupaya
memadamkan hasrat Truman untuk bepergian dan melihat dunia, selain demi
memertahankan keberlangsungan acaranya di televisi, tentunya.
Dalam kehidupan nyata, kita bisa bertualang ke mana saja
tanpa membentur dinding ujung dunia. Kita dapat melakukan sesuatu yang
diinginkan, meskipun keinginan itu seperti ditentang seluruh kota, tanpa
kemudian mendengar suara sang pencipta berbicara pada kita seolah hendak
menurunkan wahyu.
Lewat The Truman Show, penonton belajar bahwa kenyataan yang
ada “di luar sana” haruslah menjadi yang dipilih, alih-alih keadaan semu dalam
kubah masif yang serba terkendali. Kenyataan, sebagaimanapun menyakitkan, akan
lebih baik diketahui daripada disembunyikan, dan toh pada akhirnya yang
dirahasiakan akan akan ketahuan.
Christof boleh beranggapan bahwa Seahaven adalah dunia seharusnya,
namun ia juga menyadari bahwa Seahaven bukan dunia sebagaimana adanya. Namun,
terlepas dari seperti apapun dunia dan realita, toh Christof paham akan satu
hal yang tak kalah penting, “We accept the reality of the world with which we
are presented; it's as simple as that.”
No comments:
Post a Comment