Kotak itu
hampir kosong. Tidak seperti biasanya, ia membiarkan sepucuk surat tersisa di
sana.
Dibacanya lagi
nama sang pengirim. Nama yang ia kira telah menghapus segala ingatan tentang
dirinya. Ia tahu, ia seharusnya tak usah banyak berharap. Makanya ia sempat berusaha
meyakinkan diri, bahwa surat itu dikirimkan secara tak sengaja, atau mungkin
salah alamat.
Rupanya, ia
tidak salah-salah amat.
Surat itu
bahkan tak berisi basa-basi. Hanya sebatas tautan tak bermakna, pertanda bahwa
sang pengirim bahkan tak pernah punya niat untuk menyuratinya.
“Kalau bukan
karena kebetulan, saya rasa kita tidak akan pernah bertemu lagi,” ujarnya kala
itu, pada perjumpaan mereka yang terakhir.
Sudah berhari-hari
berlalu sejak surat itu tiba, dan ia masih belum sanggup membuangnya. Pun ia
belum kuasa meredakan rindunya, atau godaan untuk membalas surat itu. Tak usah
panjang lebar, pikirnya, cukup memberitahu sang pengirim bahwa ia mungkin membutuhkan
sedikit kehati-hatian ekstra. Siapa tahu, dengan begitu, menyisipkan “Apa kabar?”
di dalamnya jadi tidak begitu canggung.
Tapi,
haruskah?
Memang,
sebenarnya tidak ada tuntutan apapun untuk itu. Sebenarnya, ia hanya ingin. Tetapi,
ia takut. Takut akan segala macam, tapi kemungkinan terburuk adalah suratnya
tak dipedulikan.
Kalau sudah
begini, rasanya waktu seolah tak pernah berlalu, maka ia belumlah sempat
melanjutkan hidup. Padahal, mereka sudah berhenti saling menyapa sejak empat
tahun silam, untuk alasan yang bahkan ia tak ingat lagi, akibat pertengkaran
yang penyebabnya sudah ada jauh di luar kepala.
Mungkin, ia
hanya sedang merindukan masa lalunya, tepatnya saat-saat mereka masih rukun dan
bahagia. Tapi, kenyataan seolah tak lelah mengingatkannya, bahwa setiap hal di
dunia bisa habis masa berlakunya.
Ada masanya
untuk berpindah dan berganti. Bisa jadi, ini juga berlaku untuk perihal
sengketa yang tak sempat dituntaskan. Seberapa pun besarnya ia berharap bahwa
waktu cukup memiliki daya penyembuhan. Baru sekarang ia menyadari, ternyata
berakhirnya jalinan erat dengan teman sepermainan sejak remaja pun bisa
menyebabkan patah hati.
Ia ternyata
perlu sedikit usaha agar hatinya tetap teguh. Lagi-lagi ia mengingatkan dirinya
sendiri, bahwa mereka berdua sekarang lebih baik hidup sendiri-sendiri.
Dihampirinya
kotak sampah itu. Ia menarik napas, menghirup tekad dalam-dalam dan bertindak
lekas-lekas, sebelum ia keburu berubah pikiran. Sejurus kemudian, ia tersenyum
getir menatap pemandangan di hadapannya.
“Hooray, no spam here!”