Pages

Monday, June 30, 2014

Dari Kotak Sampah

Kotak itu hampir kosong. Tidak seperti biasanya, ia membiarkan sepucuk surat tersisa di sana.

Dibacanya lagi nama sang pengirim. Nama yang ia kira telah menghapus segala ingatan tentang dirinya. Ia tahu, ia seharusnya tak usah banyak berharap. Makanya ia sempat berusaha meyakinkan diri, bahwa surat itu dikirimkan secara tak sengaja, atau mungkin salah alamat.

Rupanya, ia tidak salah-salah amat.

Surat itu bahkan tak berisi basa-basi. Hanya sebatas tautan tak bermakna, pertanda bahwa sang pengirim bahkan tak pernah punya niat untuk menyuratinya.

“Kalau bukan karena kebetulan, saya rasa kita tidak akan pernah bertemu lagi,” ujarnya kala itu, pada perjumpaan mereka yang terakhir.

Sudah berhari-hari berlalu sejak surat itu tiba, dan ia masih belum sanggup membuangnya. Pun ia belum kuasa meredakan rindunya, atau godaan untuk membalas surat itu. Tak usah panjang lebar, pikirnya, cukup memberitahu sang pengirim bahwa ia mungkin membutuhkan sedikit kehati-hatian ekstra. Siapa tahu, dengan begitu, menyisipkan “Apa kabar?” di dalamnya jadi tidak begitu canggung.

Tapi, haruskah?

Memang, sebenarnya tidak ada tuntutan apapun untuk itu. Sebenarnya, ia hanya ingin. Tetapi, ia takut. Takut akan segala macam, tapi kemungkinan terburuk adalah suratnya tak dipedulikan.

Kalau sudah begini, rasanya waktu seolah tak pernah berlalu, maka ia belumlah sempat melanjutkan hidup. Padahal, mereka sudah berhenti saling menyapa sejak empat tahun silam, untuk alasan yang bahkan ia tak ingat lagi, akibat pertengkaran yang penyebabnya sudah ada jauh di luar kepala.

Mungkin, ia hanya sedang merindukan masa lalunya, tepatnya saat-saat mereka masih rukun dan bahagia. Tapi, kenyataan seolah tak lelah mengingatkannya, bahwa setiap hal di dunia bisa habis masa berlakunya.

Ada masanya untuk berpindah dan berganti. Bisa jadi, ini juga berlaku untuk perihal sengketa yang tak sempat dituntaskan. Seberapa pun besarnya ia berharap bahwa waktu cukup memiliki daya penyembuhan. Baru sekarang ia menyadari, ternyata berakhirnya jalinan erat dengan teman sepermainan sejak remaja pun bisa menyebabkan patah hati.

Ia ternyata perlu sedikit usaha agar hatinya tetap teguh. Lagi-lagi ia mengingatkan dirinya sendiri, bahwa mereka berdua sekarang lebih baik hidup sendiri-sendiri.

Dihampirinya kotak sampah itu. Ia menarik napas, menghirup tekad dalam-dalam dan bertindak lekas-lekas, sebelum ia keburu berubah pikiran. Sejurus kemudian, ia tersenyum getir menatap pemandangan di hadapannya.

Hooray, no spam here!

No comments:

Post a Comment