Pages

Monday, January 07, 2013

Hari 1: Malam


Kau boleh bilang aku biang gosip, tapi aku lebih suka menyebut diriku cawan kisah. Maka sebutkanlah sebuah nama, dan aku akan bercerita tentangnya. Jatahmu satu hari satu cerita.

Hari ini, kau meminta cerita tentang Ratri. Usia 23, baru lulus kuliah dengan pujian. Tubuhnya semampai, rambutnya panjang, kulitnya cerah, matanya berbinar. Oh, dan pacarnya tampan.  Bahkan sebelum wisuda, Ratri sudah diterima bekerja di perusahaan multinasional yang jadi idaman banyak teman sekampusnya. Keluarganya mapan, dan ia tak pernah perlu khawatir soal uang. Kau, sebagaimana sebagian besar orang lain, setengah mati iri padanya.

Ini yang kau, sebagaimana sebagian besar orang lain, tidak tahu tentang Ratri.

Ratri tak sabar ingin mati.

Nama Ratri berarti malam. Awalnya Ratri tak mengerti, mengapa ia dinamai berdasarkan akhir hari, ketika harapan telah terbenam dan langit sudah kelam.

Sejak tahu bahwa malam hari adalah saat ia dilahirkan, dan ibunya meninggal tak lama kemudian, Ratri takut gelap. Ia takut mereka yang dicintainya akan pergi saat cahaya lenyap. Meski menyadari bahwa semua hal di dunia datang dan pergi, Ratri tidak suka bersendirian dalam senyap.

Beranjak dewasa, Ratri tumbuh menghindari malam. Kantuknya terbit saat matahari terbenam, dan sirna saat sang fajar datang. Ia benci terjaga hingga jauh malam, membuatnya tak pernah keluar berpesta selewat senja dan tak ikhlas begadang demi menuntaskan tugas kuliah. Satu-satunya yang membuat Ratri bertahan melewati malam adalah doa sebelum tidur yang tak putus ia panjatkan. 

“Tuhan, saya bosan bertemu malam. Tolong bawa saya pulang.”

Senin dini hari adalah saat yang paling dibenci Ratri akhir-akhir ini. Setiap Senin sebelum pukul tiga pagi, ia harus sudah meninggalkan kasurnya yang empuk di Bandung untuk berangkat bekerja ke Jakarta. Ini berarti malam belum habis, namun ia sudah dihadapkan pada kenyataan bahwa ia masih harus hidup satu hari lagi. Terlebih, ia harus mengawalinya dengan terjaga saat matahari masih bersembunyi dan berada dalam kendaraan yang dingin, gelap, dan bergerak.

Setibanya di pangkalan angkutan pemadu moda, ia hanya perlu menghampiri konter penjualan, membayar ongkos tiket, naik ke armada, lalu memejamkan mata. Saat minibus antarkota antarpropinsi itu memasuki gerbang jalan tol, Ratri sudah tertidur lelap.

Duduk di kursi paling belakang minibus, Ratri tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Gerakan ban tidak lagi mulus, seperti tengah melintasi jalan berbatu. Ini kan jalan tol, pikirnya. Pasti ada masalah. Ia mencium aroma yang ganjil; apa ada sesuatu yang terbakar? Ia menengok ke jendela belakang minibus; ah, itu mungkin cuma embun… atau kabut…

Sialan, gerutu Ratri dalam hati. Dalam keadaan seperti ini, ia berharap ia bisa mengenali tempatnya berada, dan bukan sekadar “di jalan tol”.

Beberapa saat kemudian, ia mendengar bunyi gruduk gruduk keras, lalu kendaraan berhenti. Sang supir keluar untuk beberapa saat, dan tak lama kemudian mengiyakan anjuran salah seorang penumpang agar kendaraan dikosongkan. Ratri, bersama penumpang lainnya, akhirnya berdiri menahan dingin di pinggir jalan tol sementara sang supir mengeluarkan dongkrak dan ban cadangan. Untung bukan masalah mesin, pikir Ratri. Tinggal ganti ban, lalu selesai.

Ternyata tidak.

Dongkraknya bermasalah. Dan ban minibus itu ternyata bukan kempes, tetapi pecah.

“Untung pecahnya di belakang, Neng. Kalau yang pecah ban depan, mobilnya bisa terguling,” sahut sang supir. Ratri menyaksikan kerut-kerut di wajahnya menggambarkan rasa lelah dan khawatir. Garis-garis itu bahkan terlihat jelas di bawah temaram lampu dari dalam mobil, yang diparkir tepat di samping papan jalan bertuliskan 'Cikamuning, Cikalong Wetan, Purwakarta: 500 meter', saat sang supir menelepon ke pangkalan, memanggil bala bantuan.

Setengah jam kemudian, armada pengganti tiba di lokasi. Sebelum beranjak melanjutkan perjalanan, Ratri menghampiri sang supir. Nyaris kehilangan kata-kata, akhirnya ia berucap, “Pak, hati-hati ya…”

“Iya, neng. Maaf ya, Neng. Punten pisan,” balas sang supir.

Ratri tidak habis pikir. Mengapa sang supir harus meminta maaf padanya? Mungkin itu semata formalitas, sebagai perwakilan dari penyedia jasa yang seharusnya melayaninya dengan sempurna. Tapi Ratri merasakan getaran ketulusan dalam suaranya, yang seolah menuturkan bahwa 'saya menyesal Anda harus mengalami kejadian ini.' Tapi kan tidak seharusnya ia meminta maaf, pikir Ratri, karena ini bukan kesalahannya. Ia kan sudah menjalankan kewajibannya sebagai supir semampunya. Kecuali…

Ratri kemudian teringat pada doa sebelum tidurnya.

“Tuhan, saya bosan bertemu malam. Tolong bawa saya pulang.”

Ia menoleh ke belakang. Langit sudah mulai terang.

Minibus travel dan sang supir sudah lenyap dari pandangan.

1 comment: